Translate

Selasa, 23 Februari 2016

Tak Ada Lagi KITA

"Strawberry satu dan..."
"Moccacino satu." Aku melanjutkan pesananya, lalu kembali menatap wajahnya sesering yang aku bisa lakukan. Aku suka melihatnya salah tingkah ketika tau aku memperhatikannya. Rasanya aku tak pernah bosan melihat senyumnya. Manis.
"Tambah roti bakar coklat keju satu mbak." Dia melengkapi pesananya, lalu tersenyum ke arahku yang sedari tadi tak mengalihkan pandanganku dari wajahnya.

Menghabiskan sore itu bersamanya dengan masing-masing segelas es krim (strawberry dan moccacino) yang ada di genggaman kami adalah salah satu kenangan yang dia tinggalkan untukku. Itu yang terlintas di benakku ketika aku menjejakkan kaki di kedai ini. Tentang dia, semua kenangan tentang dia.

"Biasanya orang minum es krim saat mereka sedih. Tapi buatku minum es krim nggak harus nunggu sedih dulu, iya nggak mas?" Aku mengawali perbincangan sore itu sebelum mulai menyuap es krim yang baru saja tersaji di hadapan kami.
Dia mengangguk dan tersenyum, menunggu dinginnya suapan pertamanya turun sampai tenggorokkan "Emm... Kamu lebih suka es krim apa kopi dek?"
"Dua-duanya suka mas. Hehe kenapa mas? Mas g suka ngopi? Cowokkan biasanya demen banget tuh sama kopi"
"Aku g begitu suka sama kopi, kan aku beda sama cowok yang lain, limited edition." Katanya dengan tangan meraih kerah bajunya dan bergaya sok cool. Ralat, beneran cool. Setidaknya di mataku.
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum melihatnya bergaya di depanku, "Iya, iya. Limited edition, pesen satu dong mas. Bawa pulang boleh?"
"Boleh, tapi harus di taroh di kamar dek." Gurauannya semakin menjadi.
"Iya, ntar aku taroh dipojokkan kamar buat temen tidur kucingku mas." Tawa kami berbaur dengan riuh suara pengunjung kedai sore itu.

Dia bilang, es krim itu bisa mendinginkan hati saat hati sedang terbakar amarah. Entah, amarah apapun itu, akan selalu mereda. Es krim yang lembut itu, entah kenapa bisa melembutkan kembali hati yang mengeras. Es krim yang manis itu, bisa dengan tiba-tiba mengubah pandangan seseorang menjadi lebih positif, menerima apapun yang telah terjadi. Es krim juga yang memberikan pelajaran agar kita bisa cepat bertindak atas kesempatan yang kita miliki, sebelum es krim itu mencair dan tak berbentuk. Seperti kesempatan yang hilang, dan kita sudah tidak bisa menggenggamnya.
Iya, semua ucapannya kala itu pelan-pelan terserap dengan baik kedalam otakku. Melebur menjadi satu dengan aliran informasi apapun yang bisa kutangkap dari obrolan yang rasanya tak akan ada habisnya. Karena celotehnya begitu sayang untuk dilewatkan barang sedetikpun. Mendengarkan pandangannya tentang hidup, tentang kesempatan, tentang cinta, dan tentu saja... harapan. Menikmati setiap luruhan es krim yang terasa begitu manis dan merekam dengan hati-hati setiap detail kebersamaan kami. Dan mendapatinya disebelahku, cukup menggambarkan kalau aku ingin waktu berhenti disini. Mengabadikan kebersamaan kami, selamanya.

Lalu dia mengaitkan jemari kami, "Dek, bantu aku terus bahagia menerima dan menjalani hidupku."
Ya Tuhan, aku merasa ingin sekali memeluknya. Menguatkannya yang berusaha mendapatkan kekuatan dariku untuk menghadapi semuanya.
Aku membalas gengaman tangannya, "Aku ada buat mas, jangan pernah merasa sendiri." Kusajikan senyum termanisku, berharap itu bisa membuatnya lebih kuat dan yakin bahwa dia tidak sendirian.

Semenjak itu, aku tak pernah absen memberikan kabar untuknya, mengingatkan bahwa dia tidak sendirian. Aku terbiasa dengannya dan menjadi tak biasa tanpanya. Sampai akhirnya skenario-Nya berkata lain. Aku terpana melihat kalender yang baru saja berhasil kugantung manis di paku kecil yang menempel di dinding kamarku yang penuh dengan post-it tugas-tugas kuliahku. Tak terasa, sudah dua kali aku mengganti kalender semenjak hari itu. Hari di mana tak ada lagi 'kita'. Terhitung hingga hari ini, aku masih belum benar- benar melepaskannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar