Translate

Sabtu, 27 Februari 2016

Dalam Pelukmu.

Aku memeluknya rapat sekali. Tak sejengkal pun tubuh kami menjauh. Embusan napasnya terdengar hangat di telingaku, menelusup masuk ke dalam dadaku. Ia menerima pelukanku dengan ikhlas, tak bergerak banyak, hanya diam. Pejaman matanya sesekali terbuka, memandangku dengan tatapan lembut dan teduh. Mata itulah yang berkali-kali menghipnotisku, setiap kali aku memandanginya. Tatapan yang tak jemu-jemu kunikmati, sebelum waktu memisahkan kita nanti.

"Dingin." desahnya pelan.
Aku beraksi, kueratkan pelukanku. "Masih dingin?"
"Tidak. Terima kasih."

Senyumnya selalu begitu. Senyum yang lebih manis, dan semakin manis jika kupandangi terus-menerus. Jemariku menyentuh rambutnya yang hitam, dan semakin hitam karena ruangan yang gelap.

Ia tertawa kecil, mendekatkan bibirnya ke bibirku, lalu sekejap; jantungku berdegup kencang. Ia menciumiku, dan aku hanya bisa diam. Sungguh, aku merasa bodoh dan seperti anak kecil. Ini ciuman pertamaku. Aku tak menyangka dia akan seberani ini menciumku. Aku mengedip-ngedipkan mata, telapak tangannya menutupi mataku... dia kembali mengecupku.

Menit-menit yang berlalu dengan sangat manis, sungguh tak ingin kutukar dengan kebahagiaan lain yang mungkin lebih menjanjikan. Dia, yang begitu sederhana, benar-benar menjadikanku sempurna. Sempurna sebagai pria. Sempurna sebagai manusia. Aku masih menikmati bibirnya menjalari bibirku. Tak peduli bahwa menit-menit ini akan segera berlalu. Dalam dingin yang menusuk tulang, pelukkannya menghangatkan.

Terbiasa?

Aku selalu kehilangan kamu, lalu kembali menemukanmu. Maksudku, apakah kamu tak bisa benar-benar tetap tinggal? Sehingga saat aku membutuhkanmu maka aku tak perlu lagi mencarimu, maka aku tak perlu lagi repot-repot menunggumu untuk meninggalkan kesibukanmu.

Aku selalu bersabar dengan sikap dan tindakanmu, ketika kamu bahkan tak pernah ada disaat seseorang bertanya siapa seseorang yang menjadi sandaran hatiku saat ini. Aku selalu menunggumu ketika kamu bahkan tak akan kembali hari itu. Sebegitu tak berhargakah aku di matamu? Sebegitu tak bernilaikah aku di hidupmu?

Aku tidak pernah berkata BOSAN dan MALAS dengan sikapmu. Aku tak pernah berkata LELAH dengan semua perlakuanmu. Apakah dari semua kesabaran dan keikhlasanku ada hal tersembunyi yang membuatmu resah dan risih? Yang membuatmu tak ingin ditunggu dan tak ingin diharapkan lagi? Tak bisakah kau menganggapku ada, seperti aku yang selalu menganggapmu ada?

Aku tahu, mungkin kesibukanmu telah mengubah cara berpikirmu, yang juga ikut mengubah perasaanmu. Mungkin, kamu tidak  mengharapkanku. Mungkin, aku bukan siapa-siapa di hatimu. Dan, kemungkinan yang tidak pernah ingin kuketahui bahwa kamu tak ingin lagi diingatkan agar tidak telat makan olehku, bahwa kamu tak ingin lagi diperhatikan kesehatannya olehku, bahwa kamu tak ingin lagi membagi semua kesedihan dan kebahagiaanmu denganku.

Ternyata, kata BOSAN itu sangat berpengaruh dalam suatu hubungan, seiring berjalannya waktu, seiring dengan datangnya orang-orang baru di lingkunganmu sehingga sedikit demi sedikit mereka telah menggantikan tugas wajibku untuk memerhatikan dan mencoba mengerti keinginanmu. Kamu yang sekarang, kamu yang tak lagi aku kenal.

Tahukah kamu bahwa aku masih saja meminta Tuhan agar terus menjagamu? Tahukah kamu bahwa aku berkali-kali mengucap namamu dalam setiap doaku?  Entah mengapa semua perlakuan menjadi sesuatu yang masih terlihat lemah lembut dimataku. Entah karena hatiku yang mulai buta, atau karena aku yang merasa terbiasa tersakiti.

dari tulisan Dwitasari

Selasa, 23 Februari 2016

Tak Ada Lagi KITA

"Strawberry satu dan..."
"Moccacino satu." Aku melanjutkan pesananya, lalu kembali menatap wajahnya sesering yang aku bisa lakukan. Aku suka melihatnya salah tingkah ketika tau aku memperhatikannya. Rasanya aku tak pernah bosan melihat senyumnya. Manis.
"Tambah roti bakar coklat keju satu mbak." Dia melengkapi pesananya, lalu tersenyum ke arahku yang sedari tadi tak mengalihkan pandanganku dari wajahnya.

Menghabiskan sore itu bersamanya dengan masing-masing segelas es krim (strawberry dan moccacino) yang ada di genggaman kami adalah salah satu kenangan yang dia tinggalkan untukku. Itu yang terlintas di benakku ketika aku menjejakkan kaki di kedai ini. Tentang dia, semua kenangan tentang dia.

"Biasanya orang minum es krim saat mereka sedih. Tapi buatku minum es krim nggak harus nunggu sedih dulu, iya nggak mas?" Aku mengawali perbincangan sore itu sebelum mulai menyuap es krim yang baru saja tersaji di hadapan kami.
Dia mengangguk dan tersenyum, menunggu dinginnya suapan pertamanya turun sampai tenggorokkan "Emm... Kamu lebih suka es krim apa kopi dek?"
"Dua-duanya suka mas. Hehe kenapa mas? Mas g suka ngopi? Cowokkan biasanya demen banget tuh sama kopi"
"Aku g begitu suka sama kopi, kan aku beda sama cowok yang lain, limited edition." Katanya dengan tangan meraih kerah bajunya dan bergaya sok cool. Ralat, beneran cool. Setidaknya di mataku.
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum melihatnya bergaya di depanku, "Iya, iya. Limited edition, pesen satu dong mas. Bawa pulang boleh?"
"Boleh, tapi harus di taroh di kamar dek." Gurauannya semakin menjadi.
"Iya, ntar aku taroh dipojokkan kamar buat temen tidur kucingku mas." Tawa kami berbaur dengan riuh suara pengunjung kedai sore itu.

Dia bilang, es krim itu bisa mendinginkan hati saat hati sedang terbakar amarah. Entah, amarah apapun itu, akan selalu mereda. Es krim yang lembut itu, entah kenapa bisa melembutkan kembali hati yang mengeras. Es krim yang manis itu, bisa dengan tiba-tiba mengubah pandangan seseorang menjadi lebih positif, menerima apapun yang telah terjadi. Es krim juga yang memberikan pelajaran agar kita bisa cepat bertindak atas kesempatan yang kita miliki, sebelum es krim itu mencair dan tak berbentuk. Seperti kesempatan yang hilang, dan kita sudah tidak bisa menggenggamnya.
Iya, semua ucapannya kala itu pelan-pelan terserap dengan baik kedalam otakku. Melebur menjadi satu dengan aliran informasi apapun yang bisa kutangkap dari obrolan yang rasanya tak akan ada habisnya. Karena celotehnya begitu sayang untuk dilewatkan barang sedetikpun. Mendengarkan pandangannya tentang hidup, tentang kesempatan, tentang cinta, dan tentu saja... harapan. Menikmati setiap luruhan es krim yang terasa begitu manis dan merekam dengan hati-hati setiap detail kebersamaan kami. Dan mendapatinya disebelahku, cukup menggambarkan kalau aku ingin waktu berhenti disini. Mengabadikan kebersamaan kami, selamanya.

Lalu dia mengaitkan jemari kami, "Dek, bantu aku terus bahagia menerima dan menjalani hidupku."
Ya Tuhan, aku merasa ingin sekali memeluknya. Menguatkannya yang berusaha mendapatkan kekuatan dariku untuk menghadapi semuanya.
Aku membalas gengaman tangannya, "Aku ada buat mas, jangan pernah merasa sendiri." Kusajikan senyum termanisku, berharap itu bisa membuatnya lebih kuat dan yakin bahwa dia tidak sendirian.

Semenjak itu, aku tak pernah absen memberikan kabar untuknya, mengingatkan bahwa dia tidak sendirian. Aku terbiasa dengannya dan menjadi tak biasa tanpanya. Sampai akhirnya skenario-Nya berkata lain. Aku terpana melihat kalender yang baru saja berhasil kugantung manis di paku kecil yang menempel di dinding kamarku yang penuh dengan post-it tugas-tugas kuliahku. Tak terasa, sudah dua kali aku mengganti kalender semenjak hari itu. Hari di mana tak ada lagi 'kita'. Terhitung hingga hari ini, aku masih belum benar- benar melepaskannya.

Minggu, 14 Februari 2016

Merindukanmu Menyakitiku

Aku tidak tahu mengapa pelupuk mataku begitu penuh, mengapa malam ini pipiku menghangat, tenggorokanku sesenggukan, hingga aku terpaksa harus menggigit bibirku kuat-kuat. Aku tidak tahu mengapa keyboard laptopku basah. Kemudian telapak tanganku menutupi mulutku, agar tangis sialan ini mereda.
Masa, iya, sih, merindukanmu harus sesakit ini?

Tuan, jika aku bisa langsung meminta pada Tuhan, aku tak ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca pesan singkatmu yang lugu tapi manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kamu menghempaskan aku sekeji ini.
Kalau kauingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam miliyaran bahasa tak mampu mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkatan dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah kaupaham? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak punya tempat dalam hatimu.

Setiap hari, setiap waktu, aku selalu berusaha menganggap semua baik-baik saja. Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun.... sampai kapan aku harus terus mencoba? Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera melupakanmu kemudian mencari pengganti.
Aku berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. Aku memaksa diriku agar membencimu, setiap hari. Aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang begitu kelam.
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang mencintainya? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?
Kamu tak bisa. Tentu saja.