Translate

Minggu, 12 April 2015

Salam Perpisahan yang Tak Sempat Kusampaikan

Tahukah kamu?
Aku sering membayangkan hal indah sendirian seperti orang bodoh. Aku mempercayainya sendirian seperti orang bodoh. Dan aku berharap sendirian seperti orang bodoh. Walaupun tiga bulan adalah waktu yang singkat untukmu, tetap saja kamu tak perlu sekejam itu padaku. Kamu bilang ingin mempertimbangkan lagi hubungan kita? Shit! Itu cuma caramu memutuskanku. Tapi tenang, aku telah memutuskan. Mari kita berpisah.
Kamu selalu berkata "Bagaimanapun atau dimanapun kamu hidup, aku doakan agar kamu selalu bahagia" Kemudian aku akan menjawab "Pasti!" sembari menebar senyum sebagai tanda AKU BAIK-BAIK SAJA. PASTI BAIK-BAIK SAJA.

Sejujurnya, aku ingin tahu apakah masih ada kebahagiaan yang tersisa di diriku sekarang. Karena kurasa semua sudah kugunakan untuk membangun harapan, memikirkan hal indah, memimpikannya dan mempercayainya seperti orang bodoh sendirian. Hal yang tidak terbayangkan telah terjadi padaku sejak aku bertemu denganmu.
Aku ingin sekali menanyakan pertanyaan bodoh padamu. Bagaimana menurutmu jika aku memintamu melupakan segalanya dan memulai lagi? Tiga bulan memang waktu yang singkat tapi bisakah kamu bersamaku seperti dulu lagi?
"Maaf" pasti itu jawabanmu. Aku tau. Sangat tau.
Aku masih berpikir, mungkin akan menjadi sebuah takdir jika kita bertemu dalam situasi yang baik. Tidak akan sesakit ini jika kita ditakdirkan untuk bersama.

Kuminta, meski jika kita bertemu lagi, berpura-puralah tidak saling mengenal.

Mas, jaga dirimu.

Afriyani

Kusampaikan Surat yang Terabaikan

Aku menulis ini ketika air mataku telah mengering. Hanya mengering, nyatanya rasa sakit itu masih bisa kurasakan dengan sangat. Rasanya baru kemarin kita berbagi cerita panjang lebar dalam balutan tawa. Kemudian kamu memilih untuk berhenti membuka semua duniamu karena ingin melanjutkan pekerjaanmu. Sedang aku kembali hanya bisa menerima apa yang menjadi inginmu. Hanya menerima dengan senyum tercetak di wajah lelahku. Rasanya ingin kukeluarkan semua tenagaku untuk memaki, mengeluarkan segala sumpah sarapah yang telah membusuk dalam hati yang tak seberapa lapang. Aku kembali bukam untuk kesekian kalinya ketika mengingat status kita yang hanya teman biasa. Iya, kamu memutuskan mengubah status kita menjadi teman. Hanya teman.


Akhir-akhir ini, meskipun pekerjaanku sangat banyak, ternyata aku masih memiliki waktu untuk memikirkanmu. Di sela-sela ketika aku mengerjakan tugas-tugas kuliahku, aku masih berharap ponselku akan berdering dan menampilkan namamu di layarnya. Atau ketika aku menulis tentang karakter tokoh dalam ceritaku dan tokoh itu kurasa memiliki sesuatu yang sama denganmu, aku langsung mengingatmu dan meraih ponsel untuk menghubungimu, walaupun sekali lagi pesan-pesanku selalu kamu balas dalam hitungan jam atau bahkan kamu abaikan.

Aku, si penulis amatir yang kadang menangis dalam tulisanku sendiri sedang sibuk meraih dan memilih luka mana yang harus kuabadikan dalam tulisan. Haha... rasa sakitku saja kuperjual-belikan dengan sadarnya, lalu buat apa aku perduli dengan rasa sakit orang lain? Kemudian bayanganmu datang dengan membawa kebahagiaan yang sulit kupahami. Nyatanya kamu mengabaikanku dengan sangat gilanya tapi hal itu membuatku semakin ingin berada bersamamu.


Perkenalan kita biasa saja, itu semua karena keisenganmu yang menggodaku dalam aplikasi chat yang digunakan orang-orang kesepian, yang mencari kehangatan dalam balutan tulisan dan candaan percakapan. Kita terjebak dalam ruang itu dan aku tak bisa melawan bahwa ada kenyamanan yang kamu bawa dalam hari-hari sepiku. Kamu bercerita tentang dunia yang belum pernah kusinggahi, kamu bercerita mengenai pekerjaanmu, kisah cintamu yang hambar yang kamu sebut sebuah kesalahan dan andai kamu bisa mengulang waktu, kamu bilang ingin memperbaiki semuanya sampai kamu bertemu denganku. Kamu juga bercerita tentang keluargamu, dan segala hal yang membuatku merasa dihargai. Aku merasa punya hak tersendiri bisa mendengar cerita darimu yang mengalami langsung. Aku tak pernah berpikir bahwa kenyamanan ini akan berlanjut pada rasa takut kehilangan. Sementara kita, sedang dalam proses sama-sama ingin mengalihkan luka menjadi tawa. Aku tak tahu apakah kenyamanan tumbuh karena kebosananku pada rutinitasku selama ini atau memang sosokmu yang sengaja dikirimkan Tuhan untukku?


Caramu memperlakukanku membuat aku sering kali salah mengartikan kedekatan kita. Kamu memeluk tubuhku seperti seorang kakak, mencium keningku seperti seorang ayah, mencium pipiku seperti seorang kekasih, berbisik di telingaku seperti seorang sahabat, menemaniku layaknya saudara. Aku semakin terbiasa dengan semua tindakanmu. Aku tak ingin berharap terlalu jauh, tapi kedekatan kita tak bisa melarangku untuk tidak memiliki perasaan apapun padamu. Rasanya bohong satu juta persen kalau aku tidak mencintaimu dan tidak takut kehilangan kamu. Aku tahu kamu mungkin tak percaya ada cinta di mata seorang perempuan yang memiliki sejarah panjang sepertiku. Ingin kujelaskan bahwa penilaianmu itu salah, kamulah satu-satunya jawaban dari doa panjangku. Aku ingin membawamu berjalan lebih jauh lagi, tapi aku pun belum berhasil mengobati perih luka kita.


Aku terus ingin memelukmu, agar tidak pernah kehilangan kamu dan tak akan lagi mencicipi luka ditinggal saat sedang cinta-cintanya. Aku selalu ingin menahanmu pergi, ketika kamu harus kembali bergelut dengan dunia kerja, di saat-saat itu juga kamu menghilang dan tanpa kabar. Aku selalu ingin agar waktu berhenti ketika kita bertemu, sehingga aku bisa lebih lama memandangimu, memelukmu, mengajakmu membicarakan mimpi-mimpi kita. Harapanku begitu besar padamu dan aku yakin ini semua salahku karena berharap terlalu tinggi. Tapi, apakah berharap menjadi milikmu adalah keinginan yang terlalu tinggi? Kita sudah terlalu dekat, namun ada sekat tak terlihat yang memisahkan hati kita. Sekat yang bertuliskan "JANGAN LANJUTKAN ATAU KAMU AKAN TERLUKA SENDIRIAN."

Aku pernah menunjukkan air mata di depanmu dan kamu kebingungan mengapa wanita yang terlihat baik- baik saja seperti aku bisa menunjukkan air mata di depanmu? Sebenarnya, sederhana saja. Air mata itu terjatuh bukan karena inginku, tapi keinginan hatiku yang tak ingin kamu pergi, tak ingin kita berakhir tanpa alasan yang jelas, tak ingin kita berhenti berjalan ketika di ujung jalan sana kita telah melihat cahaya terang. Aku takut pada semua hal itu, pada kemungkinan-kemungkinan lain yang tak akan membuatku bahagia. Aku sudah menemukanmu dan tak ingin melepaskanmu, apalagi membiarkan wanita lain memilikimu. Sekarang, aku sedang ketakutan. Takut kamu berubah ketika aku sedang sangat merasa nyaman padamu. Aku takut kamu pergi ketika aku mulai meletakkanmu di sudut hatiku paling dalam. Ketakutan terbesarku adalah selama ini kamu hanya menganggapku temanmu dan ketika ada teman lain yang lebih baik, kamu akan pergi tanpa perasaan, seakan tak meninggalkan seseorang yang telah lama memperjuangaknmu.


Dari teman wanitamu yang pengecut.

Akhirnya Kukatakan...

"Aku ikut bahagia jika kamu bahagia."
Kalimat itu terdengar sangat muna bagiku. Kalimat yang hanya diucapkan oleh mereka yang tak bernyali, mereka yang telah gagal, mereka yang menyerah dengan keadaan. Iya, begitulah cara berpikirku dulu. Bagaimana mungkin aku bahagia melihat orang yang aku perjuangkan bahagia tapi bukan karena aku?


Mungkin Tuhan mengirimmu untuk merubah cara berpikirku. Memilih cara yang paling sulit aku mengerti. Aku yang terlalu kaku dengan egoku memilih jalan yang paling terjal. Jalan yang menjatuhkanku berulang kali, terperosok, tertatih. Dengan sekuat tenaga aku merangkak, terseok-seok melawan badai menuju rumah yang kuyakini adalah rumahku. Aku dengan hati yang tak seberapa lapang dengan ego yang membatu menganggap ini satu-satunya jalan yang harus aku lewati untuk sampai ke rumah yang aku yakini sepenuh hati adalah milikku.

Hingga kenyataan menamparku dengan begitu kerasnya. Menyadarkanku bahwa aku memiliki pilihan yang lain. Jalan yang amat sangat nyaman untuk aku lewati. Dengan selembar karcis yang harus aku miliki. Iya, keikhlasan. Bahwasannya aku harus menerima dengan kelapangan hati, bahwa rumah mewah di depanku bukanlah milikku.



Butuh waktu lama untukku berani menerima kenyataan. Waktu yang lama dengan siksaan sakit yang semakin tak terperi tiap detiknya. Waktu yang lama untuk aku memutuskan, bahkan jika bukan karena aku, bahkan jika tidak melihatku, bahkan jika bukan denganku, sudah cukup aku ada disisinya, aku bisa melihatnya, aku bisa mendengar suaranya. Kesakitan ini membuatku mampu mengatakan "Aku ikut bahagia jika kamu bahagia".

My Little Boy


Seperti menjadi rutinitas untuknya menjemputku sejak tiga tahun terakhir ini. Dia, laki-laki yang melindungiku dengan caranya. Laki-laki yang menyayangiku dengan caranya. Kepadanya aku rela membagi hatiku tanpa pernah sekalipun takut kehilangan.
Dia selalu tau pria-pria yang pernah menghancurkan tatanan hatiku. Kemudian dia akan berkata "Ngapain sih pacaran? Bikin males, repot, belum lagi kalo patah hati. Ngurusin diri sendiri aja enak, ngapain ngurusin anak orang"
Dan aku akan tertawa menanggapi protesnya. Cuma tertawa, karena nyatanya apa yang dia katakan memang benar. Bukannya aku menyesal pernah menjalin hubungan dengan beberapa pria, tapi kalo bisa aku kembali, aku memilih untuk tetap sendiri sampai aku benar-benar siap.
Aku belum pernah melihatnya melakukan apapun untuk wanita selain aku. Tapi aku yakin nantinya dia pasti punya satu wanita yang dia cinta sepenuh hati, yang akan dia kejar sepenuh hati, yang ingin dia jadikan istri.
Well, dia mungkin belum sampai pada tahap itu atau mungkin belum ada wanita seperti itu yang membuat dia sreg. Tapi aku yakin, nanti saat itu akan datang. Akan ada waktu dimana dia akan bertemu dengan wanita itu. Akan ada waktu dimana dia akan mencintai wanita itu dengan sepenuh hatinya. Akan ada waktu dimana dia akan mengejar wanita itu untuk mendampingi hidupnya. Dan akan ada suatu waktu dimana dia akan menghadap ayah, ibu, dan aku, kemudian berkata dengan suara bergetar namun penuh keyakinan.

"Pinangkan wanita itu untukku Ayah."
Semoga Kebahagiaan Menyertaimu.

Minggu, 05 April 2015

SEMUA KARENA RUFFAN



          “Selalu seperti ini, kapan sich liburanku berkesan? Mama-papa selalu saja nganggep aku anak kecil! Kapan aku diangaap orang gede?!” gerutuku pada kedua sohibku, Fany dan Indri.
          Kenapa sich non Cika? Pagi-pagi udah ngomel-ngomel. Matahari bisa-bisa g jadi nongol gara-gara celoteh dari mulut bawel kamu.” Tandas Indri sambil duduk menghadapku.
          “Bodo! G peduli!  Habisnya mama sama papa selalu memperlakukan aku seperti anak berumur 7 tahun. Siapa juga yang g BT?” lanjutku
          Kenapa sich cantik, Pagi-pagi kok udah ngome-ngomel gitu?” Tanya Fany.
Sohibku yang satu ini memang yang paling pengertian. Anaknya baik banget. Pemikirannya itu lho… melesat jauh dari usianya yang masih 18 minus. Ditambah parasnya yang ayu. Bener-bener cewek ideal dech. Aku yang cewek aja sampai kagum segitunya, apalagi cowok? Pantes aja dia jadi inceran cowok-cowok satu sekolah. Beda sama si Indri. Cantik sich, tapi bawelnya itu lho yang g ketulungan. Kalo udah buka mulut dijamin yang lainnya bakalan diem, bukan karena dengerin omongannya, tapi karena saking bingungnya mencerna kata per kata yang keluar dari mulut sohibku ini. Hehehe… Tapi kalo dipikir-pikir, g rame juga sich kalo seisi dunia kaya Fany semua. Dunia kan juga butuh pemanis. Anggap saja aku dan Indri itu sebagai pemanis. Biar hidup jadi lebih hidup!
          “Gini Fan, liburan minggu depan kan kita punya rencana camping. Nah semalem tu aku ngomong sama kedua ortuku yang super duper over protektif itu. Tau g apa jawabannya?” tanyaku mencoba menebak sampaidimana kedua sohibku ini mengenal ortuku.
          Emm…. Pasti mereka bilang gini, ehm… ehm…” Indri ber-Ehm ria, lalu melanjutkannya dengan berkacak pinggang ala mamaku kalo lagi ngomel. “Cika camping itu g enak. Boboknya musti dempet-dempetan, dingin, banyak nyamuk. Lagipula siapa yang mau menjamin keselamatan kamu? Pokoknya mama sama papa g setuju!” Indri mengakhiri kalimatnya dengan duduk dan mengarahkan pandangannya kearahku, seperti memintaku untuk mengiyakan drama kolosal yang baru saja dia peragain. Fany cuma senyum-senyum aja melihat kelakuan sohibnya itu.
          “Huft….. musti gimana dong? Masa aku musti absen lagi. Aku kan pengin ikut.” Kataku lemas sambil ku rebahkan kepalaku keatas meja kayu ini.
          “Cika mungkin mama kamu kaya gitu karena dia saking sayangnya sama kamu. Dia g mau anaknya ini kenapa-napa.” Nasehat Fany sambil menepuk-nepuk pundakku. Seperti biasa sohibku ini selalu bisa ngeredain emosiku. Baru sebentar aku merasa bisa menghirup udara segar, musuh bebuyutanku sudah siap nyari gara-gara.
          “Eh anak mami! Kenapa lu?  G boleh ikut camping lagi ya? Hahahaha…. Kasihan banget sich! Habis ini palingan ngrengek-ngrengek minta beliin boneka.” Kata-kata Ruffan itu sontak membuat kedua temannya atau lebih pantes dibilang kacungnya ngetawain aku habis-habisan.
          Sumpah! Rasanya pengan banget aku nyumpal mulut cowok keturunan jawa-sunda ini. Dia g pernah berhenti nyari gara-gara sama aku, g tau apa salahku.
          “Diem lu cowok jadi-jadian!” bentakku.
          Kalo saja ibu Rini g masuk, pasti sudah terjadi perang dunia yang ke-13. Selama pelajaran berlangsung mata Ruffan g pernah berhenti nglirik dan ngledek kearahku. Semua tingkah dia benar-benar membuat aku naik darah. Iihhh….. gondok banget. Hari ini benar-benar MENYEBALKAN!!!
*      *      *      *      *
       “Cika sayang, kanapa? Kok nasinya Cuma diaduk-aduk gitu? Dimakan dunk sayang!”  Tegur mama.
          “Ma…” panggilku.
          “Kenapa sayang?”
          “Cika boleh ya ikut gamping liburan minggu depan!  Gika pengin ikut ma, ya ma-pa?!” aku sengaja memasang muka memelas dihadapan ortuku ini.
          “Sudahlah ma,  biarkan cika ikut. Lagi pula Cika kan sudah besar, pasti dia bias jaga diri.” Kata papa yang dari tadi cuma diam.
          “Tapi pa…” Kata mama yang suah siap dengan seribu alasan buat nglarang aku. Buru-buru aku bilang makasih ke papa biar mama g banyak ngomong lagi.
          “Makasih ya pa.. Cika janji kok bakalan jaga diri baik-baik” Ku pasang senyum termanis yang aku punya dan segera ku sudahi makan malamku. G sabar rasanya buat ninggu besok.
*        *        *        *        *
          Esok yang aku nantipun tiba, aku sudah g sabar pengin berbagi kabar membahagiakan ini pada kedua sohibku. Dan tentunya buat membuktikan pada Ruffan kalo aku bukan Anak Mami seperti yang dia bilang.
          Sesuai dengan perkiraanku, aku masuk kelas dideret tengah kedua sohibku itu sudah datang lebih awal dan Ruffan and the gank juga sudah ngrumpi di pojokan kelas.
          “Indri.. Fany.. aku punya kabar baik buat kalian!” Teriakku histeris. Ku lempar tasku dan segera aku duduk merapat di sebelah Fany.
          “Apaan nich kabar baiknya? Kayaknya kamu seneng banget, abis menang lotre ya?” Tebak Indri ngaco.
          “Huh… ini lebih dari sekedar menang lotre” Kataku sambil menepu dahi Indri ringan
          “Aduh! Seneng sich seneng, tapi g perlu dilampiasin ke jidat aku donk!” Protes Indri.
          “Iya Cika, kasihan kan si Indri jadi tambah jenong” Tambah Fany.
          “Hahaha…” Serempak aku dan Fany tertawa. Indri terlihat manyun-manyun karena g trima dikatain jenong.
          “Ya udah apaan kabar baiknya? Tanya Indri.
          “Papa sama mama ngiznin aku ikut liburan bareng kalian!”
          “Serius lu cik?!” Sambung Ruffan yang tiba-tiba ada dibelakangku.
          “Iya dunk. Ini bukti kalo gue bukan anak mami kaya’ yang lu bilang! Buktinya gue dibolehin ikut camping bareng anak-anak kelas ini” Kataku bangga.
          “Hahaha…. Camping? Siapa yang mau camping? Emangnya lu belum tau ya? Dasar Cika Chiken” Ruffan menertawakakku seakan aku ini alien dari planet lain yang aneh.
          “Lho?! Minggu depan kita camping kan? Kayak liburan yang udah-udah?” Tanyaku heran.
          “Dasar Cika Chiken! Minggu depan kita g jadi camping, tapi  kita jalan-jalan ke Owabong” Jelas Ruffan.
          Ada rasa kecewa sich, tapi g masalah dech, yang penting aku bisa liburan bareng sama teman-temanku ini.
*        *        *        *        *
          Waktu yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Setibanya disana aku dan kedua sohibku ini bermain air. Rasanya seperti berang-berang yang sudah lama jauh dari air. Semua wahana aku coba. Sampai Ruffan datang menantangku untuk meluncur dari tempat yang paling tinggi. Karena gengsi aku langsung mengiyakan tantangan Ruffan itu,. Kedua sohibku melarangku habis-habisan. Setelah sampai dipuncak menera, rasanya kakiku bener-bener g bisa digerakin.
          “Kenapa? G berani? Dasar Chiken lu!” Ejek Ruffan.
          Udah nanggung! Kalo aku mundur itu berarti Riffan menang. Idihh…. Ogah banget dech bikin Ruffan makin gede kepala aja.
          “Siapa juga yang takut?” kataku mantap.
          “Ok kalo gitu cepet susul aku” Katanya dan dia pun langsung meluncur disusul Indri dan Fany.
          Udah nanggung! Tuhan lindungi aku! Aku berdoa dalam hati dan langsung meluncur. Aku hanya memejamkan mata dan terus memejamkan mata saat meluncur. Rasanya lama banget. Kapan ini akan berakhir?
          “Byurrr!!!”
          Setelah sampai hampir kedasar kolampun aku masih tetap memejamkan mata. Ada banyak orang yang menertawakanku. Tentunya suara Ruffan and the gank terdengar paling nyaring.
          Ya Tuhan rasanya memalukan banget. Segera aku berenang menuju ketepi kolam tapi apesnya waktu aku berenang dibawah seluncuran, aku terkena orang yang baru saja bermain seluncuran. Malu-maluin banget sich! Aku g mau main seluncuran ini lagi! Semua gara-gara Ruffan! Pekikku dalam hati.
          “Cika… Cika… makanya kalo g berani tu ngomong, g perlu dipaksain” Kata-kata itu terdengar begitu mengejek di telingaku.
          Aku sudah g tahan karena dari tadi merasa dipermalukan sama Ruffan, berniat mendorong Ruffan supaya anak ini terjatuh ke air, tapi Ruffan menghindar dan aku sendiri yang justru tergelincir ke air. Awalnya aku masi bias dengar tawa Ruffan dan teman-temannya. Saat aku berniat beranang ke permukaan, tiba-tiba perutku kram. Ya Tuhan gimana ini? Aku mencoba berteriak tapi g bias. Ada tangan yang menarikku keluar dari air. Mataku belum cukup mampu untuk mengenali orang yang menolongku.
          “Cika kamu g papa?” Suara itu terdengar sangat panik. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat melihat dengan jelas siapa orang di depanku ini.
          TAARRA!
          Seperti mendapat kejutan begitu tau yang menyelamatkanku adalah RUFFAN. Aku sempat g percaya, tapi itu benar-benar Ruffan.. dia memapahku ke tempat yang teduh, di ikuti Fany dan Indri. Keadaanku sudah membaik. Kedua sohibku pergi untuk ganti baju, sedangkan Ruffan masih disini menemaniku.
          Aku menemukan sosok yang berbeda dari diri Ruffan. Dia berubah? Atau aku saja yang baru menyadarinya? Ruffan memperlakukanku dengan sangat baik.
          “Gimana perut kamu? Masih sakit? Ini dimakan dulu?” kata Ruffan
          “Iya, makasih”
“Lain kali lebih ati-ati ya, aku g mau kamu kenapa-napa! Upss!”
Ruffan langsung menutup mulutnya, seakan-akan dia baru saja mengucapkan sesuatu yang harusnya g dia ucapin. Aku menatapnya lekat-lekat dan dia menjadi salah tingkah.
“Kenapa? Kamu mau?” aku menawarinya roti yang sedang aku makan.
“enggak. Makasih”
“Cie.. cie… tadi kayak anjing sama kucing, sekarang kok jadi kayak Romi sama Juli sich?” Celetuk khas dari Indri
Ruffan hanya tersenyum dan g tau kenapa rasanya wajahku juga memerah karena malu. Entah perasaan apa ini. Semenjak itu Ruffan bukan lagi musuhku. Semua yang terjadi karena dia. Iya, semua karena Ruffan.

***END***
 Afriyani, XII IPA 1
Pengembangan ide, Bahasa indonesia, 2012

Skenario-Nya


Siang itu pertama kalinya aku mampu tersenyum lagi dengan cara yang berbeda. Bukan senyum yang membentuk lekukan di bibirku, tapi juga hatiku. Sorenya rintik hujan menemani perjumpaanku dengannya. Langit biru yang memayungi pantai berubah menjadi kelabu. Aku dan dia berteduh dari rintik hujan yang mengalir menjadi deras. Entah mengapa, aku merasa hari itu adalah kebahagiaan terakhir yang dituliskan Tuhan dalam skenario hidupku. Mungkin karena sejuknya rintikan hujan, logika itu berhasil masuk dan menguasai pikiranku saat itu. Dan logika tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menutup perasaan. Ya, logika itu hanya mampu menutup perasaan dari kenyataan hidupku. Tapi tidak mampu menghilangkan rasa yang memang sudah tergoreskan di setiap detak jantungku. Dan hari itu, takdir seakan merenggut kebahagiaanku yang dulu. Memutar kembali kehidupan ke posisi awal, namun kini terasa berbeda.
Aku pernah menghadapi sunyi yang diciptakan Tuhan untukku. Memang saat ini aku terbiasa dengannya dan tak biasa tanpanya. Tapi apa bedanya dulu dengan sekarang? Sama-sama sunyi karena ditinggal orang yang sedang aku sayangi demi perempuan lain.
Sebelah diriku bersikeras melawan, mempertanyakan skenario-Nya seperti orang yang kehilangan kewarasan. Apakah karena aku dan dia menyebut nama Tuhan yang berbeda lantas tak bisa saling memiliki? Atau karena kesempatan Tuhan yang kuabaikan? Ataukah aku yang terlampau bodoh mengartikan kasih Tuhan? Aku yakin Engkau satu, "Laa Ilaaha Illallah", itu selalu yang kusebut disetiap doaku. Dan entah apa yang selalu dia sebut disetiap doanya.

Sebelah diriku yang lain berusaha menerima, meyakinkan diri bahwa ini sebuah perjalanan panjang yang memang harus aku lewati. Mengikhlaskan semua yang telah terjadi, semua yang hilang, semua yang dia ambil dan semua yang telah dia bawa pergi. Mengatakan berulang kali seperti rekaman rusak bahwa AKU BAIK-BAIK SAJA. SEMUA BAIK-BAIK SAJA. Berdamailah dengan hati. Iya. Hanya itu yang harus aku lakukan, berdamai dengan hati.
Dan sejak hari itu aku membiasakan diri mendekap keinginanku, membohongi perasaanku sendiri, bersikap seakan tegar walaupun sakit. Sakit yang justru lebih nampak dibalik kelopak mataku. Aku tak berhak dengan hidupku sendiri. Karena logika ternyata mampu mengalahkan perasaanku kepadanya. Namun aku tak mau terus membiarkan hatiku sakit, dan tak mau terus bohong dengan ketegaran palsu yang selalu kutampakkan di setiap aku berpapasan dengan kehidupan nyataku. Karena aku tak mau menyakiti perasaanku dengan logika.

Tuhan bantu aku melupakan perasaan yang kecil namun dalam ini, karena sesungguhnya Tuhan yang menghadirkan rasa ini dan biarkan Tuhan yang menghapusnya.

Afriyani/26-24

Kamis, 02 April 2015

Berlalu...


Sudah sejak beberapa waktu lalu
Aku berbalik dan aku tersenyum seolah aku tak mengenalmu

Meski mungkin hanyalah luka yang menemani
Dan mungkin aku tak bisa tersenyum lagi di sampingmu

Tapi inilah jalan yang ku pilih