“Selalu seperti ini, kapan sich liburanku
berkesan? Mama-papa selalu saja nganggep aku anak kecil! Kapan aku diangaap
orang gede?!” gerutuku pada kedua sohibku, Fany dan Indri.
“Kenapa sich non Cika?
Pagi-pagi udah ngomel-ngomel. Matahari bisa-bisa g jadi nongol gara-gara
celoteh dari mulut bawel kamu.” Tandas Indri sambil duduk menghadapku.
“Bodo! G peduli! Habisnya mama sama papa selalu memperlakukan
aku seperti anak berumur 7 tahun. Siapa juga yang g BT?” lanjutku
“Kenapa sich cantik,
Pagi-pagi kok udah ngome-ngomel gitu?” Tanya Fany.
Sohibku
yang satu ini memang yang paling pengertian. Anaknya baik banget. Pemikirannya
itu
lho… melesat jauh dari usianya yang masih 18 minus. Ditambah parasnya
yang ayu. Bener-bener cewek ideal dech. Aku yang cewek aja sampai kagum
segitunya, apalagi cowok? Pantes aja dia jadi inceran cowok-cowok satu sekolah.
Beda sama si Indri. Cantik sich, tapi bawelnya itu lho yang g ketulungan. Kalo
udah buka mulut dijamin yang lainnya bakalan diem, bukan karena dengerin
omongannya, tapi karena saking bingungnya mencerna kata per kata yang keluar
dari mulut sohibku ini. Hehehe… Tapi kalo dipikir-pikir, g rame juga sich kalo
seisi dunia kaya Fany semua. Dunia kan
juga butuh pemanis. Anggap saja aku dan Indri itu sebagai pemanis. Biar hidup
jadi lebih hidup!
“Gini Fan, liburan minggu depan kan kita punya rencana
camping. Nah semalem tu aku ngomong sama kedua ortuku yang super duper over
protektif itu. Tau g apa jawabannya?” tanyaku mencoba menebak sampaidimana kedua
sohibku ini mengenal ortuku.
“Emm…. Pasti mereka bilang
gini, ehm… ehm…” Indri ber-Ehm ria, lalu melanjutkannya dengan berkacak
pinggang ala mamaku kalo lagi ngomel. “Cika camping itu g enak. Boboknya musti
dempet-dempetan, dingin, banyak nyamuk. Lagipula siapa yang mau menjamin
keselamatan kamu? Pokoknya mama sama papa g setuju!” Indri mengakhiri
kalimatnya dengan duduk dan mengarahkan pandangannya kearahku, seperti
memintaku untuk mengiyakan drama kolosal yang baru saja dia peragain. Fany cuma senyum-senyum
aja melihat kelakuan sohibnya itu.
“Huft….. musti gimana dong? Masa aku
musti absen lagi. Aku kan
pengin ikut.” Kataku lemas sambil ku rebahkan kepalaku keatas meja kayu ini.
“Cika mungkin mama kamu kaya gitu
karena dia saking sayangnya sama kamu. Dia g mau anaknya ini kenapa-napa.”
Nasehat Fany sambil menepuk-nepuk pundakku. Seperti biasa sohibku ini selalu
bisa ngeredain emosiku. Baru sebentar aku merasa bisa menghirup udara segar,
musuh bebuyutanku sudah siap nyari gara-gara.
“Eh anak mami! Kenapa lu? G boleh ikut camping lagi ya? Hahahaha….
Kasihan banget sich! Habis ini palingan ngrengek-ngrengek minta beliin boneka.”
Kata-kata Ruffan itu sontak membuat kedua temannya atau lebih pantes dibilang
kacungnya ngetawain aku habis-habisan.
Sumpah! Rasanya pengan banget aku
nyumpal mulut cowok keturunan jawa-sunda ini. Dia g pernah berhenti nyari
gara-gara sama aku, g tau apa salahku.
“Diem lu cowok jadi-jadian!” bentakku.
Kalo saja ibu Rini g masuk, pasti
sudah terjadi perang dunia yang ke-13. Selama pelajaran berlangsung mata Ruffan
g pernah berhenti nglirik dan ngledek kearahku. Semua tingkah dia benar-benar
membuat aku naik darah. Iihhh….. gondok banget. Hari ini benar-benar MENYEBALKAN!!!
* * * * *
“Cika sayang,
kanapa? Kok nasinya Cuma diaduk-aduk gitu? Dimakan dunk sayang!” Tegur mama.
“Ma…” panggilku.
“Kenapa sayang?”
“Cika boleh ya ikut gamping liburan
minggu depan! Gika pengin ikut ma, ya
ma-pa?!” aku sengaja memasang muka memelas dihadapan ortuku ini.
“Sudahlah ma, biarkan cika ikut. Lagi pula Cika kan sudah besar, pasti
dia bias jaga diri.” Kata papa yang dari tadi cuma diam.
“Tapi pa…” Kata mama yang suah siap
dengan seribu alasan buat nglarang aku. Buru-buru aku bilang makasih ke papa
biar mama g banyak ngomong lagi.
“Makasih ya pa.. Cika janji kok
bakalan jaga diri baik-baik” Ku pasang senyum termanis yang aku punya dan
segera ku sudahi makan malamku. G sabar rasanya buat ninggu besok.
* * * * *
Esok yang aku nantipun tiba, aku sudah
g sabar pengin berbagi kabar membahagiakan ini pada kedua sohibku. Dan tentunya
buat membuktikan pada Ruffan kalo aku bukan Anak
Mami seperti yang dia bilang.
Sesuai dengan perkiraanku, aku masuk
kelas dideret tengah kedua sohibku itu sudah datang lebih awal dan Ruffan and
the gank juga sudah ngrumpi di pojokan kelas.
“Indri.. Fany.. aku punya kabar baik
buat kalian!” Teriakku histeris. Ku lempar tasku dan segera aku duduk merapat
di sebelah Fany.
“Apaan nich kabar baiknya? Kayaknya
kamu seneng banget, abis menang lotre ya?” Tebak Indri ngaco.
“Huh… ini lebih dari sekedar menang
lotre” Kataku sambil menepu dahi Indri ringan
“Aduh! Seneng sich seneng, tapi g
perlu dilampiasin ke jidat aku donk!” Protes Indri.
“Iya Cika, kasihan kan si Indri jadi tambah jenong” Tambah Fany.
“Hahaha…” Serempak aku dan Fany
tertawa. Indri terlihat manyun-manyun karena g trima dikatain jenong.
“Ya udah apaan kabar baiknya? Tanya
Indri.
“Papa sama mama ngiznin aku ikut
liburan bareng kalian!”
“Serius lu cik?!” Sambung Ruffan yang
tiba-tiba ada dibelakangku.
“Iya dunk. Ini bukti kalo gue bukan
anak mami kaya’ yang lu bilang! Buktinya gue dibolehin ikut camping bareng
anak-anak kelas ini” Kataku bangga.
“Hahaha…. Camping? Siapa yang mau
camping? Emangnya lu belum tau ya? Dasar Cika Chiken” Ruffan menertawakakku
seakan aku ini alien dari planet lain yang aneh.
“Lho?! Minggu depan kita camping kan? Kayak liburan yang
udah-udah?” Tanyaku heran.
“Dasar Cika Chiken! Minggu depan kita
g jadi camping, tapi kita jalan-jalan ke
Owabong” Jelas Ruffan.
Ada rasa kecewa sich, tapi g masalah
dech, yang penting aku bisa liburan bareng sama teman-temanku ini.
* * * * *
Waktu yang aku tunggu-tunggu pun tiba.
Setibanya disana aku dan kedua sohibku ini bermain air. Rasanya seperti
berang-berang yang sudah lama jauh dari air. Semua wahana aku coba. Sampai
Ruffan datang menantangku untuk meluncur dari tempat yang paling tinggi. Karena
gengsi aku langsung mengiyakan tantangan Ruffan itu,. Kedua sohibku melarangku
habis-habisan. Setelah sampai dipuncak menera, rasanya kakiku bener-bener g
bisa digerakin.
“Kenapa? G berani? Dasar Chiken lu!”
Ejek Ruffan.
Udah
nanggung! Kalo aku mundur itu berarti Riffan menang. Idihh…. Ogah banget dech
bikin Ruffan makin gede kepala aja.
“Siapa juga
yang takut?” kataku mantap.
“Ok kalo gitu cepet susul aku” Katanya
dan dia pun langsung meluncur disusul Indri dan Fany.
Udah
nanggung! Tuhan lindungi aku! Aku berdoa dalam hati dan langsung meluncur.
Aku hanya memejamkan mata dan terus memejamkan mata saat meluncur. Rasanya lama
banget. Kapan ini akan berakhir?
“Byurrr!!!”
Setelah sampai hampir kedasar
kolampun aku masih tetap memejamkan mata. Ada
banyak orang yang menertawakanku. Tentunya suara Ruffan and the gank terdengar
paling nyaring.
Ya Tuhan rasanya memalukan banget.
Segera aku berenang menuju ketepi kolam tapi apesnya waktu aku berenang dibawah
seluncuran, aku terkena orang yang baru saja bermain seluncuran. Malu-maluin banget sich! Aku g mau main
seluncuran ini lagi! Semua gara-gara Ruffan! Pekikku dalam hati.
“Cika… Cika… makanya kalo g berani tu
ngomong, g perlu dipaksain” Kata-kata itu terdengar begitu mengejek di
telingaku.
Aku sudah g tahan karena dari tadi
merasa dipermalukan sama Ruffan, berniat mendorong Ruffan supaya anak ini
terjatuh ke air, tapi Ruffan menghindar dan aku sendiri yang justru tergelincir
ke air. Awalnya aku masi bias dengar tawa Ruffan dan teman-temannya. Saat aku
berniat beranang ke permukaan, tiba-tiba perutku kram. Ya Tuhan gimana ini? Aku
mencoba berteriak tapi g bias. Ada
tangan yang menarikku keluar dari air. Mataku belum cukup mampu untuk mengenali
orang yang menolongku.
“Cika kamu g papa?” Suara itu
terdengar sangat panik. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat melihat dengan
jelas siapa orang di depanku ini.
TAARRA!
Seperti mendapat kejutan begitu tau
yang menyelamatkanku adalah RUFFAN. Aku sempat g percaya, tapi itu benar-benar
Ruffan.. dia memapahku ke tempat yang teduh, di ikuti Fany dan Indri. Keadaanku
sudah membaik. Kedua sohibku pergi untuk ganti baju, sedangkan Ruffan masih
disini menemaniku.
Aku menemukan sosok yang berbeda dari
diri Ruffan. Dia berubah? Atau aku saja yang baru menyadarinya? Ruffan
memperlakukanku dengan sangat baik.
“Gimana perut kamu? Masih sakit? Ini
dimakan dulu?” kata Ruffan
“Iya, makasih”
“Lain
kali lebih ati-ati ya, aku g mau kamu kenapa-napa! Upss!”
Ruffan
langsung menutup mulutnya, seakan-akan dia baru saja mengucapkan sesuatu yang
harusnya g dia ucapin. Aku menatapnya lekat-lekat dan dia menjadi salah
tingkah.
“Kenapa?
Kamu mau?” aku menawarinya roti yang sedang aku makan.
“enggak.
Makasih”
“Cie..
cie… tadi kayak anjing sama kucing, sekarang kok jadi kayak Romi sama Juli
sich?” Celetuk khas dari Indri
Ruffan
hanya tersenyum dan g tau kenapa rasanya wajahku juga memerah karena malu.
Entah perasaan apa ini. Semenjak itu Ruffan bukan lagi musuhku. Semua yang
terjadi karena dia. Iya, semua karena Ruffan.
***END***
Afriyani, XII IPA 1
Pengembangan ide, Bahasa indonesia, 2012