Aku menulis ini ketika air
mataku telah mengering. Hanya mengering, nyatanya rasa sakit itu masih bisa
kurasakan dengan sangat. Rasanya baru kemarin kita berbagi cerita panjang lebar
dalam balutan tawa. Kemudian kamu memilih untuk berhenti membuka semua duniamu
karena ingin melanjutkan pekerjaanmu. Sedang aku kembali hanya bisa menerima
apa yang menjadi inginmu. Hanya menerima dengan senyum tercetak di wajah
lelahku. Rasanya ingin kukeluarkan semua tenagaku untuk memaki, mengeluarkan
segala sumpah sarapah yang telah membusuk dalam hati yang tak seberapa lapang.
Aku kembali bukam untuk kesekian kalinya ketika mengingat status kita yang
hanya teman biasa. Iya, kamu memutuskan mengubah status kita menjadi teman.
Hanya teman.
Akhir-akhir ini, meskipun
pekerjaanku sangat banyak, ternyata aku masih memiliki waktu untuk
memikirkanmu. Di sela-sela ketika aku mengerjakan tugas-tugas kuliahku, aku
masih berharap ponselku akan berdering dan menampilkan namamu di layarnya. Atau
ketika aku menulis tentang karakter tokoh dalam ceritaku dan tokoh itu kurasa
memiliki sesuatu yang sama denganmu, aku langsung mengingatmu dan meraih ponsel
untuk menghubungimu, walaupun
sekali lagi pesan-pesanku selalu kamu balas dalam hitungan jam atau bahkan kamu
abaikan.
Aku, si penulis amatir yang
kadang menangis dalam tulisanku sendiri sedang sibuk meraih dan memilih luka
mana yang harus kuabadikan dalam tulisan. Haha... rasa sakitku saja
kuperjual-belikan dengan sadarnya, lalu buat apa aku perduli dengan rasa sakit
orang lain? Kemudian bayanganmu datang dengan membawa kebahagiaan yang sulit
kupahami. Nyatanya kamu mengabaikanku dengan sangat gilanya tapi hal itu
membuatku semakin ingin berada bersamamu.
Perkenalan kita biasa saja, itu
semua karena keisenganmu yang menggodaku dalam aplikasi chat yang digunakan
orang-orang kesepian, yang mencari kehangatan dalam balutan tulisan dan candaan
percakapan. Kita terjebak dalam ruang itu dan aku tak bisa melawan bahwa ada
kenyamanan yang kamu bawa dalam hari-hari sepiku. Kamu bercerita tentang dunia
yang belum pernah kusinggahi, kamu bercerita mengenai pekerjaanmu, kisah
cintamu yang hambar yang kamu sebut sebuah kesalahan dan andai kamu bisa
mengulang waktu, kamu bilang ingin memperbaiki semuanya sampai kamu bertemu
denganku. Kamu juga bercerita tentang keluargamu, dan segala hal yang membuatku
merasa dihargai. Aku merasa punya hak tersendiri bisa mendengar cerita darimu
yang mengalami langsung. Aku tak pernah berpikir bahwa kenyamanan ini akan
berlanjut pada rasa takut kehilangan. Sementara kita, sedang dalam proses sama-sama ingin mengalihkan luka
menjadi tawa. Aku tak tahu apakah kenyamanan tumbuh karena kebosananku pada
rutinitasku selama ini atau memang sosokmu yang sengaja dikirimkan Tuhan
untukku?
Caramu memperlakukanku membuat
aku sering kali salah mengartikan kedekatan kita. Kamu memeluk tubuhku seperti
seorang kakak, mencium keningku seperti seorang ayah, mencium pipiku seperti
seorang kekasih, berbisik di telingaku seperti seorang sahabat, menemaniku
layaknya saudara. Aku semakin terbiasa dengan semua tindakanmu. Aku tak ingin
berharap terlalu jauh, tapi kedekatan kita tak bisa melarangku untuk tidak
memiliki perasaan apapun padamu. Rasanya bohong satu juta persen kalau aku tidak
mencintaimu dan tidak takut kehilangan kamu. Aku tahu kamu mungkin tak percaya
ada cinta di mata seorang perempuan yang memiliki sejarah panjang sepertiku.
Ingin kujelaskan bahwa penilaianmu itu salah, kamulah satu-satunya jawaban dari
doa panjangku. Aku ingin membawamu berjalan lebih jauh lagi, tapi aku pun belum
berhasil mengobati perih luka kita.
Aku terus ingin memelukmu, agar
tidak pernah kehilangan kamu dan tak akan lagi mencicipi luka ditinggal saat
sedang cinta-cintanya. Aku selalu ingin menahanmu pergi, ketika kamu harus
kembali bergelut dengan dunia kerja, di saat-saat itu juga kamu menghilang dan
tanpa kabar. Aku selalu ingin agar waktu berhenti ketika kita bertemu, sehingga
aku bisa lebih lama memandangimu, memelukmu, mengajakmu membicarakan
mimpi-mimpi kita. Harapanku begitu besar padamu dan aku yakin ini semua salahku
karena berharap terlalu tinggi. Tapi, apakah berharap menjadi milikmu adalah
keinginan yang terlalu tinggi? Kita sudah terlalu dekat, namun ada sekat tak
terlihat yang memisahkan hati kita. Sekat yang bertuliskan "JANGAN
LANJUTKAN ATAU KAMU AKAN TERLUKA SENDIRIAN."
Aku pernah menunjukkan air mata
di depanmu dan kamu kebingungan mengapa wanita yang terlihat baik- baik saja
seperti aku bisa menunjukkan air mata di depanmu? Sebenarnya, sederhana saja.
Air mata itu terjatuh bukan karena inginku, tapi keinginan hatiku yang tak
ingin kamu pergi, tak ingin kita berakhir tanpa alasan yang jelas, tak ingin
kita berhenti berjalan ketika di ujung jalan sana kita telah melihat cahaya
terang. Aku takut pada semua hal itu, pada kemungkinan-kemungkinan lain yang
tak akan membuatku bahagia. Aku sudah menemukanmu dan tak ingin melepaskanmu,
apalagi membiarkan wanita lain memilikimu. Sekarang, aku sedang ketakutan.
Takut kamu berubah ketika aku sedang sangat merasa nyaman padamu. Aku takut
kamu pergi ketika aku mulai meletakkanmu di sudut hatiku paling dalam.
Ketakutan terbesarku adalah selama ini kamu hanya menganggapku temanmu dan
ketika ada teman lain yang lebih baik, kamu akan pergi tanpa perasaan, seakan
tak meninggalkan seseorang yang telah lama memperjuangaknmu.
Dari teman wanitamu yang pengecut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar