Translate

Minggu, 12 April 2015

Kusampaikan Surat yang Terabaikan

Aku menulis ini ketika air mataku telah mengering. Hanya mengering, nyatanya rasa sakit itu masih bisa kurasakan dengan sangat. Rasanya baru kemarin kita berbagi cerita panjang lebar dalam balutan tawa. Kemudian kamu memilih untuk berhenti membuka semua duniamu karena ingin melanjutkan pekerjaanmu. Sedang aku kembali hanya bisa menerima apa yang menjadi inginmu. Hanya menerima dengan senyum tercetak di wajah lelahku. Rasanya ingin kukeluarkan semua tenagaku untuk memaki, mengeluarkan segala sumpah sarapah yang telah membusuk dalam hati yang tak seberapa lapang. Aku kembali bukam untuk kesekian kalinya ketika mengingat status kita yang hanya teman biasa. Iya, kamu memutuskan mengubah status kita menjadi teman. Hanya teman.


Akhir-akhir ini, meskipun pekerjaanku sangat banyak, ternyata aku masih memiliki waktu untuk memikirkanmu. Di sela-sela ketika aku mengerjakan tugas-tugas kuliahku, aku masih berharap ponselku akan berdering dan menampilkan namamu di layarnya. Atau ketika aku menulis tentang karakter tokoh dalam ceritaku dan tokoh itu kurasa memiliki sesuatu yang sama denganmu, aku langsung mengingatmu dan meraih ponsel untuk menghubungimu, walaupun sekali lagi pesan-pesanku selalu kamu balas dalam hitungan jam atau bahkan kamu abaikan.

Aku, si penulis amatir yang kadang menangis dalam tulisanku sendiri sedang sibuk meraih dan memilih luka mana yang harus kuabadikan dalam tulisan. Haha... rasa sakitku saja kuperjual-belikan dengan sadarnya, lalu buat apa aku perduli dengan rasa sakit orang lain? Kemudian bayanganmu datang dengan membawa kebahagiaan yang sulit kupahami. Nyatanya kamu mengabaikanku dengan sangat gilanya tapi hal itu membuatku semakin ingin berada bersamamu.


Perkenalan kita biasa saja, itu semua karena keisenganmu yang menggodaku dalam aplikasi chat yang digunakan orang-orang kesepian, yang mencari kehangatan dalam balutan tulisan dan candaan percakapan. Kita terjebak dalam ruang itu dan aku tak bisa melawan bahwa ada kenyamanan yang kamu bawa dalam hari-hari sepiku. Kamu bercerita tentang dunia yang belum pernah kusinggahi, kamu bercerita mengenai pekerjaanmu, kisah cintamu yang hambar yang kamu sebut sebuah kesalahan dan andai kamu bisa mengulang waktu, kamu bilang ingin memperbaiki semuanya sampai kamu bertemu denganku. Kamu juga bercerita tentang keluargamu, dan segala hal yang membuatku merasa dihargai. Aku merasa punya hak tersendiri bisa mendengar cerita darimu yang mengalami langsung. Aku tak pernah berpikir bahwa kenyamanan ini akan berlanjut pada rasa takut kehilangan. Sementara kita, sedang dalam proses sama-sama ingin mengalihkan luka menjadi tawa. Aku tak tahu apakah kenyamanan tumbuh karena kebosananku pada rutinitasku selama ini atau memang sosokmu yang sengaja dikirimkan Tuhan untukku?


Caramu memperlakukanku membuat aku sering kali salah mengartikan kedekatan kita. Kamu memeluk tubuhku seperti seorang kakak, mencium keningku seperti seorang ayah, mencium pipiku seperti seorang kekasih, berbisik di telingaku seperti seorang sahabat, menemaniku layaknya saudara. Aku semakin terbiasa dengan semua tindakanmu. Aku tak ingin berharap terlalu jauh, tapi kedekatan kita tak bisa melarangku untuk tidak memiliki perasaan apapun padamu. Rasanya bohong satu juta persen kalau aku tidak mencintaimu dan tidak takut kehilangan kamu. Aku tahu kamu mungkin tak percaya ada cinta di mata seorang perempuan yang memiliki sejarah panjang sepertiku. Ingin kujelaskan bahwa penilaianmu itu salah, kamulah satu-satunya jawaban dari doa panjangku. Aku ingin membawamu berjalan lebih jauh lagi, tapi aku pun belum berhasil mengobati perih luka kita.


Aku terus ingin memelukmu, agar tidak pernah kehilangan kamu dan tak akan lagi mencicipi luka ditinggal saat sedang cinta-cintanya. Aku selalu ingin menahanmu pergi, ketika kamu harus kembali bergelut dengan dunia kerja, di saat-saat itu juga kamu menghilang dan tanpa kabar. Aku selalu ingin agar waktu berhenti ketika kita bertemu, sehingga aku bisa lebih lama memandangimu, memelukmu, mengajakmu membicarakan mimpi-mimpi kita. Harapanku begitu besar padamu dan aku yakin ini semua salahku karena berharap terlalu tinggi. Tapi, apakah berharap menjadi milikmu adalah keinginan yang terlalu tinggi? Kita sudah terlalu dekat, namun ada sekat tak terlihat yang memisahkan hati kita. Sekat yang bertuliskan "JANGAN LANJUTKAN ATAU KAMU AKAN TERLUKA SENDIRIAN."

Aku pernah menunjukkan air mata di depanmu dan kamu kebingungan mengapa wanita yang terlihat baik- baik saja seperti aku bisa menunjukkan air mata di depanmu? Sebenarnya, sederhana saja. Air mata itu terjatuh bukan karena inginku, tapi keinginan hatiku yang tak ingin kamu pergi, tak ingin kita berakhir tanpa alasan yang jelas, tak ingin kita berhenti berjalan ketika di ujung jalan sana kita telah melihat cahaya terang. Aku takut pada semua hal itu, pada kemungkinan-kemungkinan lain yang tak akan membuatku bahagia. Aku sudah menemukanmu dan tak ingin melepaskanmu, apalagi membiarkan wanita lain memilikimu. Sekarang, aku sedang ketakutan. Takut kamu berubah ketika aku sedang sangat merasa nyaman padamu. Aku takut kamu pergi ketika aku mulai meletakkanmu di sudut hatiku paling dalam. Ketakutan terbesarku adalah selama ini kamu hanya menganggapku temanmu dan ketika ada teman lain yang lebih baik, kamu akan pergi tanpa perasaan, seakan tak meninggalkan seseorang yang telah lama memperjuangaknmu.


Dari teman wanitamu yang pengecut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar