Translate

Minggu, 12 April 2015

Akhirnya Kukatakan...

"Aku ikut bahagia jika kamu bahagia."
Kalimat itu terdengar sangat muna bagiku. Kalimat yang hanya diucapkan oleh mereka yang tak bernyali, mereka yang telah gagal, mereka yang menyerah dengan keadaan. Iya, begitulah cara berpikirku dulu. Bagaimana mungkin aku bahagia melihat orang yang aku perjuangkan bahagia tapi bukan karena aku?


Mungkin Tuhan mengirimmu untuk merubah cara berpikirku. Memilih cara yang paling sulit aku mengerti. Aku yang terlalu kaku dengan egoku memilih jalan yang paling terjal. Jalan yang menjatuhkanku berulang kali, terperosok, tertatih. Dengan sekuat tenaga aku merangkak, terseok-seok melawan badai menuju rumah yang kuyakini adalah rumahku. Aku dengan hati yang tak seberapa lapang dengan ego yang membatu menganggap ini satu-satunya jalan yang harus aku lewati untuk sampai ke rumah yang aku yakini sepenuh hati adalah milikku.

Hingga kenyataan menamparku dengan begitu kerasnya. Menyadarkanku bahwa aku memiliki pilihan yang lain. Jalan yang amat sangat nyaman untuk aku lewati. Dengan selembar karcis yang harus aku miliki. Iya, keikhlasan. Bahwasannya aku harus menerima dengan kelapangan hati, bahwa rumah mewah di depanku bukanlah milikku.



Butuh waktu lama untukku berani menerima kenyataan. Waktu yang lama dengan siksaan sakit yang semakin tak terperi tiap detiknya. Waktu yang lama untuk aku memutuskan, bahkan jika bukan karena aku, bahkan jika tidak melihatku, bahkan jika bukan denganku, sudah cukup aku ada disisinya, aku bisa melihatnya, aku bisa mendengar suaranya. Kesakitan ini membuatku mampu mengatakan "Aku ikut bahagia jika kamu bahagia".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar