"Aku ikut bahagia jika kamu bahagia."
Kalimat itu terdengar sangat muna bagiku. Kalimat yang hanya
diucapkan oleh mereka yang tak bernyali, mereka yang telah gagal, mereka yang
menyerah dengan keadaan. Iya, begitulah cara berpikirku dulu. Bagaimana mungkin
aku bahagia melihat orang yang aku perjuangkan bahagia tapi bukan karena aku?
Mungkin Tuhan mengirimmu untuk merubah cara berpikirku. Memilih cara
yang paling sulit aku mengerti. Aku yang terlalu kaku dengan egoku memilih
jalan yang paling terjal. Jalan yang menjatuhkanku berulang kali, terperosok,
tertatih. Dengan sekuat tenaga aku merangkak, terseok-seok melawan badai menuju
rumah yang kuyakini adalah rumahku. Aku dengan hati yang tak seberapa lapang
dengan ego yang membatu menganggap ini satu-satunya jalan yang harus aku lewati
untuk sampai ke rumah yang aku yakini sepenuh hati adalah milikku.
Hingga kenyataan menamparku dengan begitu kerasnya. Menyadarkanku
bahwa aku memiliki pilihan yang lain. Jalan yang amat sangat nyaman untuk aku
lewati. Dengan selembar karcis yang harus aku miliki. Iya, keikhlasan.
Bahwasannya aku harus menerima dengan kelapangan hati, bahwa rumah mewah di
depanku bukanlah milikku.
Butuh waktu lama untukku berani menerima kenyataan. Waktu yang lama
dengan siksaan sakit yang semakin tak terperi tiap detiknya. Waktu yang lama
untuk aku memutuskan, bahkan jika bukan karena aku, bahkan jika tidak
melihatku, bahkan jika bukan denganku, sudah cukup aku ada disisinya, aku bisa
melihatnya, aku bisa mendengar suaranya. Kesakitan ini membuatku mampu
mengatakan "Aku ikut bahagia jika kamu
bahagia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar