Translate

Minggu, 06 November 2016

Pengakuan Dosa


Untuk orang-orang yang selalu mendengarkanku.

Hari ini adalah hari terlelah yang aku pernah aku lewati. Aku memutuskan untuk membuat pengakuan dosa besar yang aku lakukan.

Kamu, orang pertama yang tau semuanya. Aku tau betapa kecewanya kamu sama aku. Tapi kamu tetap menenangkan aku. Aku sangat berterima kasih untuk hal itu. Setelah seharian yang aku lalui penuh air mata, nyatanya tidak mampu mengurangi rasa sakitku. Aku merasa justru semakin nyesak karena mengecewakan orang-orang yang diam-diam peduli terhadapku.

Mama. Perempuan paling tegar yang pernah aku kenal. Pelukannya membuatku meluruhkan semua rasa sakitku. Seakan mengangkat beban yang selama ini diam-diam kupikul sendirian. Tangisnya membuatku merasa ribuan kali lipat menyesal dan hancur. Aku membuatnya kecewa. Aku membuat bidadariku menangis. Ya Allah, rasanya aku tak sanggup melihat itu semua.

Mama tidak menghakimiku. Dia menerima keputusanku. Aku salah, tapi aku mengambil keputusan yang benar. Kalimat itu yang lagi-lagi meluluhlantakkan hatiku. Aku tak percaya memiliki malaikat sebaik itu sebagai ibuku.

Tuhan ...
Aku tau ini skenario hidupku. Skenario yang harus aku selesaikan. Aku berjanji tidak akanakan menyerah disini. Aku memiliki malaikat yang begitu sempurna untuk kubahagiakan. 
Tuhan ...
Tolong aku. Izinkan aku membahagiakannya sebelum aku kembali untuk menerima hukumanku di neraka-Mu.

Kamis, 23 Juni 2016

Apa kabar kamu?

Hai, apa kabar? Kamu masih tetap sama ya. Aku dateng lagi. Maaf kalo telat. Aku disini baik-baik aja. Ayah, ibu, adek-adek juga begitu. Kita kangen kamu. Aku kangen kamu.

Semalem, g sengaja aku cerita tentang kita. Tentang bahagianya kita dulu. Tentang nakalnya kita dulu. Tentang gimana manjanya ku dulu sama kamu. Tapi aku tak bisa bercerita tentang kesalahan-kesalahan yang aku buat ke kamu. Aku takut isakku tak lagi mengalun perlahan. Oiya aku bercerita tentang kita sama laki-laki baru yang masuk ke hidupku. Kamu pasti kaget. Atau malah sudah bisa menebak. Miris ya? Kayaknya setiap kali aku datang selalu cerita tentang laki-laki yang baru. Mau gimana lagi? Bukan salahku dan bukan aku yang mau begini. Salah mereka yang hanya sejenak datang kemudian melenggang pergi.

Aku tak tau, akan seperti apa akhir ceritaku dengan laki-laki ini. Pasti kamu bosen dengernya, soalnya setiap kali aku dateng, pasti aku bercerita tentang laki-laki baru. Lagi dan lagi. Kamu selalu tau, dalam hati kecilku, aku selalu berharap ini yang terakhir. Aku selalu berharap drama di hidupku segera berakhir. Aku juga bosen setiap kali dateng selalu ada orang baru, sedang kamu masih tetap seperti itu.

Semoga kali ini bukan sebuah kesalahan. Dan sekalipun ini lagi-lagi sebuah kesalahan, aku berharap  tidak terlalu banyak hati yang dikecewakan. Tidak banyak orang yang terluka. Tidak terlalu dalam bekas luka yg tertinggal. Dan tidak membuatku menyerah akan hidupku.

Hahaha
Ayolah, aku hanya bercanda. Mana mungkin aku menyerah akan hidupku. Kamu tau aku kan? Sekalipun aku harus jatuh berkali-kali, selama masih ada mereka, aku pasti kembali bangkit. Bagaimanapun caranya. Kamu yang meninggalkan mereka untukku, bagaimana mungkin aku juga meninggalkan mereka begitu saja. Setidaknya aku harus membuat mereka bangga terlebih dulu kan?

Anyway, kamu tau g, sekarang namaku sudah lebih panjang. Aku berhasil membawa gelar S. Pd. Gelar yang g sempat kamu dapetin. Hey... dulu kamu kan yang pengin kuliah. Aku? Engk. Kamu taulah gimana malesnya aku sama sekolah. Aku cuma pengin bareng kamu. Ngikutin kemanapun kamu pergi. Main. Sekolah. Ranking. Apapun itu.

26 Juli nanti, aku bakal pake toga. Dan ini buat kamu.
Bahagia ya disana. Aku juga bakal nyari bahagiaku disini.

Perempuan kecilmu yang selalu merindukanmu
Afriyani

Senin, 07 Maret 2016

Bukan Janji

Sore itu aku hampir kehilangan kamu karena kebodohan ku. Iya, saat itu aku merasa lelah, sangat lelah hingga terbesit untukku menyerah. Tulisan yang penuh tawa nyatanya tetap tak mampu membendung tetesan demi tetesan air mata. Satu, dua, dan akhirnya tak mampu lagi kuhitung, karena tetesan itu telah berubah menjadi aliran derah. Kututup mulut rapat-rapat agar tangis sialan ini mereda. Sakit, sesak, juga pasrah. Iya, saat itu aku hanya pasrah ketika kupikir inilah skenario-Nya yang harus aku lalui.

Dering telepon yang menampilkan namamu pun tak mampu menghentikan tangis sialan ini. Dan aku tak ingin kau tau keadaanku saat itu. Aku tak peduli apa yang kau pikirkan tentang aku disana. Aku hanya ingin kau tau, aku baik-baik saja meski tanpamu. Ya Tuhan... inikah akhirnya? Iya, aku menerima jika memang harus berhenti disini. Hanya itu yang aku pikirkan. Menguatkan hatiku dengan sisa-sisa kemampuanku. Aku harus menyelamatkan hatiku. 

Aku buka notif di handphone ku dan itu dari kamu. Kamu tau apa yang aku lakukan pertama kali? Seperti orang yang kehilangan kewarasannya, aku memeluk handphone ku. Tidak, aku memelukmu yang jauh disana. Aku menangis, bukan lagi tangis sialan, tapi aku bersyukur. Dan aku pikir Tuhan telah menggetarkan hatimu. Jadi aku harus meluruhkan egoku, melenyapkan gengsiku, membuang topeng pura-pura yang kukenakan. 

Aku menyayangimu, sekarang. Semoga sampai nanti. Bukankah kamu tidak suka memberiku janji? Aku juga. Aku tidak bisa menjanjikan menyayangimu selamanya. Tapi aku mengucapkan itu dengan penuh kejujuran, bahwa aku menyayangimu. Dengan penuh harapan, semoga sampai nanti dalam waktu yang tak terbatas.

Kamis, 03 Maret 2016

Hujan dan Kenanganku

Hujan selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. Dia membisu, datang malu-malu, tanpa isyarat dan kata, tiba-tiba dia mengguyur saja sesukanya, seenak hatinya. Seringkali hujan disalahartikan sebagai pembawa duka, sebagai sebab seseorang mengingat kenangannya, sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan takdirnya. Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan, pembawa air mata, dan pengingat rasa kehilangan. Selalu saja, sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam, kenangan.


Aha! Hujan ternyata masih jadi peran antagonis, dia kembali mengingatkanku padamu! Kamu yang enam tahun ini meninggalkanku tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa isyarat dan pengungkapan.

Ah... berdosakah aku kalau masih saja memikirkanmu? Enam tahun lalu, hanya kau saja yang mengajariku menghargai rintik hujan, menghargai deras rindunya, menghargai butir-butir kenangan halusnya.

Hujan kali ini, di sepotong sore yang dingin, benar-benar mengingatkanku pada rasa kehilangan, tentu saja rasa yang begitu dalam. Hilang? Saat aku berniat untuk mencari, pasti aku akan menemukan. Tapi, bagaimana aku bisa mencari orang sepertimu? Di mana aku bisa menemukan seseorang yang selalu melindungiku sepertimu?

Sayang. Ah! Sayang? Panggilan yang tak pernah terucap sekalipun dari bibirmu. Hujan kali ini memang deras sekali, aku tak membayangkan kamu yang terbaring lemah disana, apa kau kedinginan? Oh ya, sudah sebulan aku tidak mengunjungimu ya? Apa kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu? Tidak usah dijawab! Aku tidak ingin mendengar jawaban dingin itu! Begini saja, besok aku akan mengunjungimu, membersihkan rumput-rumput liar yang mencoba menjamah nisanmu. Jangan menolak! Aku punya alasan sederhana untuk menjelaskan pemaksaanku. Aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana. Rindu memang selalu sederhana kan?

Sabtu, 27 Februari 2016

Dalam Pelukmu.

Aku memeluknya rapat sekali. Tak sejengkal pun tubuh kami menjauh. Embusan napasnya terdengar hangat di telingaku, menelusup masuk ke dalam dadaku. Ia menerima pelukanku dengan ikhlas, tak bergerak banyak, hanya diam. Pejaman matanya sesekali terbuka, memandangku dengan tatapan lembut dan teduh. Mata itulah yang berkali-kali menghipnotisku, setiap kali aku memandanginya. Tatapan yang tak jemu-jemu kunikmati, sebelum waktu memisahkan kita nanti.

"Dingin." desahnya pelan.
Aku beraksi, kueratkan pelukanku. "Masih dingin?"
"Tidak. Terima kasih."

Senyumnya selalu begitu. Senyum yang lebih manis, dan semakin manis jika kupandangi terus-menerus. Jemariku menyentuh rambutnya yang hitam, dan semakin hitam karena ruangan yang gelap.

Ia tertawa kecil, mendekatkan bibirnya ke bibirku, lalu sekejap; jantungku berdegup kencang. Ia menciumiku, dan aku hanya bisa diam. Sungguh, aku merasa bodoh dan seperti anak kecil. Ini ciuman pertamaku. Aku tak menyangka dia akan seberani ini menciumku. Aku mengedip-ngedipkan mata, telapak tangannya menutupi mataku... dia kembali mengecupku.

Menit-menit yang berlalu dengan sangat manis, sungguh tak ingin kutukar dengan kebahagiaan lain yang mungkin lebih menjanjikan. Dia, yang begitu sederhana, benar-benar menjadikanku sempurna. Sempurna sebagai pria. Sempurna sebagai manusia. Aku masih menikmati bibirnya menjalari bibirku. Tak peduli bahwa menit-menit ini akan segera berlalu. Dalam dingin yang menusuk tulang, pelukkannya menghangatkan.

Terbiasa?

Aku selalu kehilangan kamu, lalu kembali menemukanmu. Maksudku, apakah kamu tak bisa benar-benar tetap tinggal? Sehingga saat aku membutuhkanmu maka aku tak perlu lagi mencarimu, maka aku tak perlu lagi repot-repot menunggumu untuk meninggalkan kesibukanmu.

Aku selalu bersabar dengan sikap dan tindakanmu, ketika kamu bahkan tak pernah ada disaat seseorang bertanya siapa seseorang yang menjadi sandaran hatiku saat ini. Aku selalu menunggumu ketika kamu bahkan tak akan kembali hari itu. Sebegitu tak berhargakah aku di matamu? Sebegitu tak bernilaikah aku di hidupmu?

Aku tidak pernah berkata BOSAN dan MALAS dengan sikapmu. Aku tak pernah berkata LELAH dengan semua perlakuanmu. Apakah dari semua kesabaran dan keikhlasanku ada hal tersembunyi yang membuatmu resah dan risih? Yang membuatmu tak ingin ditunggu dan tak ingin diharapkan lagi? Tak bisakah kau menganggapku ada, seperti aku yang selalu menganggapmu ada?

Aku tahu, mungkin kesibukanmu telah mengubah cara berpikirmu, yang juga ikut mengubah perasaanmu. Mungkin, kamu tidak  mengharapkanku. Mungkin, aku bukan siapa-siapa di hatimu. Dan, kemungkinan yang tidak pernah ingin kuketahui bahwa kamu tak ingin lagi diingatkan agar tidak telat makan olehku, bahwa kamu tak ingin lagi diperhatikan kesehatannya olehku, bahwa kamu tak ingin lagi membagi semua kesedihan dan kebahagiaanmu denganku.

Ternyata, kata BOSAN itu sangat berpengaruh dalam suatu hubungan, seiring berjalannya waktu, seiring dengan datangnya orang-orang baru di lingkunganmu sehingga sedikit demi sedikit mereka telah menggantikan tugas wajibku untuk memerhatikan dan mencoba mengerti keinginanmu. Kamu yang sekarang, kamu yang tak lagi aku kenal.

Tahukah kamu bahwa aku masih saja meminta Tuhan agar terus menjagamu? Tahukah kamu bahwa aku berkali-kali mengucap namamu dalam setiap doaku?  Entah mengapa semua perlakuan menjadi sesuatu yang masih terlihat lemah lembut dimataku. Entah karena hatiku yang mulai buta, atau karena aku yang merasa terbiasa tersakiti.

dari tulisan Dwitasari

Selasa, 23 Februari 2016

Tak Ada Lagi KITA

"Strawberry satu dan..."
"Moccacino satu." Aku melanjutkan pesananya, lalu kembali menatap wajahnya sesering yang aku bisa lakukan. Aku suka melihatnya salah tingkah ketika tau aku memperhatikannya. Rasanya aku tak pernah bosan melihat senyumnya. Manis.
"Tambah roti bakar coklat keju satu mbak." Dia melengkapi pesananya, lalu tersenyum ke arahku yang sedari tadi tak mengalihkan pandanganku dari wajahnya.

Menghabiskan sore itu bersamanya dengan masing-masing segelas es krim (strawberry dan moccacino) yang ada di genggaman kami adalah salah satu kenangan yang dia tinggalkan untukku. Itu yang terlintas di benakku ketika aku menjejakkan kaki di kedai ini. Tentang dia, semua kenangan tentang dia.

"Biasanya orang minum es krim saat mereka sedih. Tapi buatku minum es krim nggak harus nunggu sedih dulu, iya nggak mas?" Aku mengawali perbincangan sore itu sebelum mulai menyuap es krim yang baru saja tersaji di hadapan kami.
Dia mengangguk dan tersenyum, menunggu dinginnya suapan pertamanya turun sampai tenggorokkan "Emm... Kamu lebih suka es krim apa kopi dek?"
"Dua-duanya suka mas. Hehe kenapa mas? Mas g suka ngopi? Cowokkan biasanya demen banget tuh sama kopi"
"Aku g begitu suka sama kopi, kan aku beda sama cowok yang lain, limited edition." Katanya dengan tangan meraih kerah bajunya dan bergaya sok cool. Ralat, beneran cool. Setidaknya di mataku.
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum melihatnya bergaya di depanku, "Iya, iya. Limited edition, pesen satu dong mas. Bawa pulang boleh?"
"Boleh, tapi harus di taroh di kamar dek." Gurauannya semakin menjadi.
"Iya, ntar aku taroh dipojokkan kamar buat temen tidur kucingku mas." Tawa kami berbaur dengan riuh suara pengunjung kedai sore itu.

Dia bilang, es krim itu bisa mendinginkan hati saat hati sedang terbakar amarah. Entah, amarah apapun itu, akan selalu mereda. Es krim yang lembut itu, entah kenapa bisa melembutkan kembali hati yang mengeras. Es krim yang manis itu, bisa dengan tiba-tiba mengubah pandangan seseorang menjadi lebih positif, menerima apapun yang telah terjadi. Es krim juga yang memberikan pelajaran agar kita bisa cepat bertindak atas kesempatan yang kita miliki, sebelum es krim itu mencair dan tak berbentuk. Seperti kesempatan yang hilang, dan kita sudah tidak bisa menggenggamnya.
Iya, semua ucapannya kala itu pelan-pelan terserap dengan baik kedalam otakku. Melebur menjadi satu dengan aliran informasi apapun yang bisa kutangkap dari obrolan yang rasanya tak akan ada habisnya. Karena celotehnya begitu sayang untuk dilewatkan barang sedetikpun. Mendengarkan pandangannya tentang hidup, tentang kesempatan, tentang cinta, dan tentu saja... harapan. Menikmati setiap luruhan es krim yang terasa begitu manis dan merekam dengan hati-hati setiap detail kebersamaan kami. Dan mendapatinya disebelahku, cukup menggambarkan kalau aku ingin waktu berhenti disini. Mengabadikan kebersamaan kami, selamanya.

Lalu dia mengaitkan jemari kami, "Dek, bantu aku terus bahagia menerima dan menjalani hidupku."
Ya Tuhan, aku merasa ingin sekali memeluknya. Menguatkannya yang berusaha mendapatkan kekuatan dariku untuk menghadapi semuanya.
Aku membalas gengaman tangannya, "Aku ada buat mas, jangan pernah merasa sendiri." Kusajikan senyum termanisku, berharap itu bisa membuatnya lebih kuat dan yakin bahwa dia tidak sendirian.

Semenjak itu, aku tak pernah absen memberikan kabar untuknya, mengingatkan bahwa dia tidak sendirian. Aku terbiasa dengannya dan menjadi tak biasa tanpanya. Sampai akhirnya skenario-Nya berkata lain. Aku terpana melihat kalender yang baru saja berhasil kugantung manis di paku kecil yang menempel di dinding kamarku yang penuh dengan post-it tugas-tugas kuliahku. Tak terasa, sudah dua kali aku mengganti kalender semenjak hari itu. Hari di mana tak ada lagi 'kita'. Terhitung hingga hari ini, aku masih belum benar- benar melepaskannya.