Translate

Senin, 07 Maret 2016

Bukan Janji

Sore itu aku hampir kehilangan kamu karena kebodohan ku. Iya, saat itu aku merasa lelah, sangat lelah hingga terbesit untukku menyerah. Tulisan yang penuh tawa nyatanya tetap tak mampu membendung tetesan demi tetesan air mata. Satu, dua, dan akhirnya tak mampu lagi kuhitung, karena tetesan itu telah berubah menjadi aliran derah. Kututup mulut rapat-rapat agar tangis sialan ini mereda. Sakit, sesak, juga pasrah. Iya, saat itu aku hanya pasrah ketika kupikir inilah skenario-Nya yang harus aku lalui.

Dering telepon yang menampilkan namamu pun tak mampu menghentikan tangis sialan ini. Dan aku tak ingin kau tau keadaanku saat itu. Aku tak peduli apa yang kau pikirkan tentang aku disana. Aku hanya ingin kau tau, aku baik-baik saja meski tanpamu. Ya Tuhan... inikah akhirnya? Iya, aku menerima jika memang harus berhenti disini. Hanya itu yang aku pikirkan. Menguatkan hatiku dengan sisa-sisa kemampuanku. Aku harus menyelamatkan hatiku. 

Aku buka notif di handphone ku dan itu dari kamu. Kamu tau apa yang aku lakukan pertama kali? Seperti orang yang kehilangan kewarasannya, aku memeluk handphone ku. Tidak, aku memelukmu yang jauh disana. Aku menangis, bukan lagi tangis sialan, tapi aku bersyukur. Dan aku pikir Tuhan telah menggetarkan hatimu. Jadi aku harus meluruhkan egoku, melenyapkan gengsiku, membuang topeng pura-pura yang kukenakan. 

Aku menyayangimu, sekarang. Semoga sampai nanti. Bukankah kamu tidak suka memberiku janji? Aku juga. Aku tidak bisa menjanjikan menyayangimu selamanya. Tapi aku mengucapkan itu dengan penuh kejujuran, bahwa aku menyayangimu. Dengan penuh harapan, semoga sampai nanti dalam waktu yang tak terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar