Translate

Minggu, 05 April 2015

Skenario-Nya


Siang itu pertama kalinya aku mampu tersenyum lagi dengan cara yang berbeda. Bukan senyum yang membentuk lekukan di bibirku, tapi juga hatiku. Sorenya rintik hujan menemani perjumpaanku dengannya. Langit biru yang memayungi pantai berubah menjadi kelabu. Aku dan dia berteduh dari rintik hujan yang mengalir menjadi deras. Entah mengapa, aku merasa hari itu adalah kebahagiaan terakhir yang dituliskan Tuhan dalam skenario hidupku. Mungkin karena sejuknya rintikan hujan, logika itu berhasil masuk dan menguasai pikiranku saat itu. Dan logika tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menutup perasaan. Ya, logika itu hanya mampu menutup perasaan dari kenyataan hidupku. Tapi tidak mampu menghilangkan rasa yang memang sudah tergoreskan di setiap detak jantungku. Dan hari itu, takdir seakan merenggut kebahagiaanku yang dulu. Memutar kembali kehidupan ke posisi awal, namun kini terasa berbeda.
Aku pernah menghadapi sunyi yang diciptakan Tuhan untukku. Memang saat ini aku terbiasa dengannya dan tak biasa tanpanya. Tapi apa bedanya dulu dengan sekarang? Sama-sama sunyi karena ditinggal orang yang sedang aku sayangi demi perempuan lain.
Sebelah diriku bersikeras melawan, mempertanyakan skenario-Nya seperti orang yang kehilangan kewarasan. Apakah karena aku dan dia menyebut nama Tuhan yang berbeda lantas tak bisa saling memiliki? Atau karena kesempatan Tuhan yang kuabaikan? Ataukah aku yang terlampau bodoh mengartikan kasih Tuhan? Aku yakin Engkau satu, "Laa Ilaaha Illallah", itu selalu yang kusebut disetiap doaku. Dan entah apa yang selalu dia sebut disetiap doanya.

Sebelah diriku yang lain berusaha menerima, meyakinkan diri bahwa ini sebuah perjalanan panjang yang memang harus aku lewati. Mengikhlaskan semua yang telah terjadi, semua yang hilang, semua yang dia ambil dan semua yang telah dia bawa pergi. Mengatakan berulang kali seperti rekaman rusak bahwa AKU BAIK-BAIK SAJA. SEMUA BAIK-BAIK SAJA. Berdamailah dengan hati. Iya. Hanya itu yang harus aku lakukan, berdamai dengan hati.
Dan sejak hari itu aku membiasakan diri mendekap keinginanku, membohongi perasaanku sendiri, bersikap seakan tegar walaupun sakit. Sakit yang justru lebih nampak dibalik kelopak mataku. Aku tak berhak dengan hidupku sendiri. Karena logika ternyata mampu mengalahkan perasaanku kepadanya. Namun aku tak mau terus membiarkan hatiku sakit, dan tak mau terus bohong dengan ketegaran palsu yang selalu kutampakkan di setiap aku berpapasan dengan kehidupan nyataku. Karena aku tak mau menyakiti perasaanku dengan logika.

Tuhan bantu aku melupakan perasaan yang kecil namun dalam ini, karena sesungguhnya Tuhan yang menghadirkan rasa ini dan biarkan Tuhan yang menghapusnya.

Afriyani/26-24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar