Bola api
raksasa menghangatkan jalan yang kulewati. Biru langit yang membuatku iri.
Kualihkan pandanganku kesebelah kanan. Lagi-lagi semesta mengejekku. Kuputuskan
untuk berhenti sejenak, menikmati hamparan lautan dan langit yang melakukan
konspirasi semesta untuk mengejekku. Membuatku iri. Sial!
Kulangkahkan
kaki menyusuri pasir pantai yang memantulkan bayangan hitam tubuhku. Andai saja
bisa, ingin rasanya membiarkan ombak merenggut seluruh rasa sakit yang mengakar
di seluruh penjuru hati. Membiarkan langit menghisap dan melumpuhkan ingatanku,
membakarnya hingga lenyap dengan bola api raksasa yang begitu setianya pada
langit.
Sudah
lewat dua kali musim penghujan dan tiga kali musim kemarau, namun perasaan itu
masih tertata rapi. Sulit melemparnya keluar dari ingatanku. Sungguh,
melupakannya tak semudah menebar senyum palsu. Senyum yang cukup berhasil
membuatku terlihat kuat dari luar. Selangkah demi selangkah kubawa tubuhku
menjauh dari pantai. Ah, aku pernah merasa lengkap bersama dua kakinya, terasa
langkahku begitu ringan. Hanya bersama dia, hidup terasa mudah untuk dijalani.
Sayang, sesuatu yang indah itu hanya terdiam di masa lalu. Sesuatu yang indah
itu tak bisa kudapatkan kembali. Mungkin belum.
***
“Yang, lihat kesebelah
kiri.”
Aku menoleh, seperti
permintaannya. "Wahh... Cantik. Kita mampir bentar yuk."
Dia menuruti permintaanku.
Aku dan dia tengah berdiri di bibir pantai. Kutunjuk cakrawala yang tepat
berada di atas kami. "Lihat di atas sana yang. Luas, tak terbatas
kan?"
Dia hanya mengangguk. Membenarkan.
“Iya. Kenapa?”
“Sama seperti rasa
sayangku ke kamu. Tak berbatas.”
Dia tersenyum. Simpul.
Manis. “Sayang mah suka gombal. Pasti
sudah banyak korbannya.”
Entah mengapa, setiap
kalimat yang benar-benar serius kuucapkan selalu terdengar seperti bualan di
telinganya. Padahal sungguh, aku benar-benar mencintainya. Sangat cinta.
“Aku serius, Sayang.”
Kupasang bibir manyun yang selalu bisa membuatnya menuruti inginku. Berharap
dia akan yakin pada perkataanku.
“Iya, Sayang. Aku tahu.
Aku pun bisa merasakannya. Thank you for loving me.”
“Kamu juga sayang aku,
kan?” Kuamati wajahnya lekat-lekat. Dia masih memandang ke atas. Pelan-pelan,
langit mulai menampakkan lukisan Tuhan.
“Seharusnya, hal itu tidak
pernah kamu tanyakan, Sayang. Jangan ragukan rasa sayangku ke kamu.”
Kupandangi sorot matanya
yang teduh. Iya. Aku hanya akan bertanya satu kali. Aku pun sudah merasa cukup
untuk jawaban yang kudapat. Aku ingin mempercayainya. Dia menggenggam erat
telapak tanganku. Kami berdua melangkah menjauhi pantai. Dua pasang kaki yang
melangkah bersama. Senada. Seirama. Dua telapak tangan yang saling menggenggam.
Erat. Hangat.
***
Deru ombak yang menerjang
karang menarikku dari bayang-bayang masa lalu. Percuma. Sekuat apapun aku
mencoba lupa, hanya membuatku menjadi semakin kacau. Segigih-gigihnya aku
berusaha terlihat kuat, justru membuatku merasa semakin rapuh.
Kuhidupkan mesin motorku
dan segera kutenggelamkan pikiranku dalam bisingnya jalan pantura. Tak sengaja
mataku menatap bangunan di pinggir jalan yang sering aku lewati. Ah, dulu karena hujan aku dan dia, pernah
menghabiskan waktu disana dalam balutan tawa. Damn! Apa ini? Aku bisa gila jika terus-terusan begini. Kuputuskan
memasuki kedai kopi langganan ‘kami’.
“Americano satu, ya,
Mbak.” Tanpa tedeng aling, kukageti mbak penjaga kasir dengan memesan secara
tiba-tiba.
“Si... siap, Mbak. Silakan
duduk, pesanan akan segera diantar.”
Aku tak menanggapi
perkataannya. Gontai, kuseret kakiku menuju meja di sudut kafe yang minim
pencahayaan. Aku sedang ingin menyepi. Tak dapat kudefinisikan lagi seberapa
ingin aku menyendiri. Tak lama, Americano pesananku datang. Kusesap sedikit
demi sedikit. Perlahan, kehangatan menjalar ke seluruh penjuru tubuhku.
Kehangatan yang hanya menentramkanku dalam beberapa detik.
Dulu, yang kupikirkan
hanyalah masa depan yang indah dengannya. Begitu sayangnya aku kepadanya,
membuatku lupa menyisihkan separuh hatiku untuk siap merelakan saat dia ingin
terlepas. Dan saat hal itu benar-benar terjadi, aku tidak siap. Aku tidak ikhlas kebahagiaanku direbut
secara paksa. Aku marah. Aku benci pernah memercayai kata-katanya. Aku benci
kepada diriku sendiri. Dia bohong soal mencintaiku. Di saat aku benar-benar
merasa dia adalah orang yang tepat, di saat aku mulai bergantung padanya, saat
itulah kebenaran terungkap. Suatu hari, dia mengatakan bahwa hubungan ini perlu
“dipertimbangkan” lagi. Jatuh. Sakit. Hancur. Remuk. Dan sampailah pada hari
kemarin.
***
Kusesap lagi Americano-ku
yang masih tersisa setengah cangkir. Saat kuletakkan lagi cangkir Americano-ku,
aku menyadari kedatangan seseorang.
“Nadine, kamu juga kesini?
Kebetulan sekali, ya?”
Menyebalkan. Aku sedang
ingin sendiri. Dia menggangguku di saat yang tidak tepat.
“Boleh aku duduk?”
Tak kutanggapi pertanyaannya.
Aku benar-benar sedang tidak dalam mood yang baik.
“Kamu terlihat kacau
sekali. Ada apa?”
Aku tetap bergeming. Lalu,
kudengar hembusan napasnya pelan.
“Nadine, aku tahu, kamu
tidak pernah menyukai berada di dekatku. Tapi, percayalah, sendirian tidak akan
pernah membuatmu lebih baik. Kamu butuh seseorang, kamu butuh pendengar.”
Pelan, kucoba menerawang
jauh ke dalam manik matanya. Pria yang selama ini dengan sabarnya menunjukkan
rasa kasihnya kepadaku. Rasa sayang yang tak pernah terlihat di mataku. Mata
hatiku terlanjur terselimuti kebencian yang teramat dalam.
“Bicara memang mudah, Fan.
Kamu hanya melihat. Kamu tak pernah merasakan rasanya menjadi aku!”
“Nadine, jangan angkuh
begitu. Kamu butuh menangis. Jangan mengedepankan ego dengan menjunjung tinggi
prinsip bahwa kamu terlalu kuat untuk menangis.”
Dia berhasil membungkam
mulutku. Benar. Selama ini, aku hanya lalai untuk melunakkan sedikit hatiku.
Kristal air menjemukan itu menyeruak keluar, lagi-lagi membentuk anak sungai
yang mengalir di pipiku.
“Percayalah, Nadine, kamu
hanya perlu menangis satu kali, dan berbahagia selamanya. Wanita sepertimu tak
seharusnya bergumul dengan kesedihan. Bertahan dengan hati yang retak.
Pikirkan, sudah berapa kebahagiaan yang kamu sia- siakan dengan menghabiskan
waktu di hidupmu dalam kepiluan?”
Terus. Kata-kata Ruffan
bagai suntikan semangat untukku. Perlahan, aku mulai dapat berpikir rasional.
“Aku tahu, aku paham benar
bagaimana perasaanmu. Tadi pagi, aku juga sudah menerima undangan pernikahan
itu. Nadine, setiap orang pasti akan menemukan ‘rumah’-nya masing-masing. Jika
memang ‘rumah’ bagi Ares adalah Maya, kamu harus dapat mengikhlaskannya.
Temukan ‘rumah’-mu sendiri, Nad!”
Linangan air mataku
berebutan turun dari ujung daguku menuju meja. Beberapa pengunjung tampak
sedang memerhatikan aku dan Ruffan. Beberapa diantaranya menghunuskan
pandangannya kepada Ruffan. Mungkin, mereka pikir, Ruffan yang membuatku larut
dalam sedu sedan ini.
“Jadi, kamu akan
menghadiri pernikahan mantan kekasihmu itu, kan, Nad?”
Ruffan memberikan sapu
tangannya padaku. “Untuk menghapus air matamu yang menjemukan itu.”
Aku menerima sapu tangan
pemberiannya. Perlahan, kuusapkan ke wajahku. Kuhapuskan jejak anak sungai yang
menciptakan arus deras.
“Iya. Aku akan menghadirinya,
Fan.”
“Kamu bisa hadir
bersamaku, kalau kamu mau, Nad.” Pelan, disentuhnya ujung jemariku.
“Tentu saja. Maaf untuk
setiap pengabaianku selama ini.”
Pria berkacamata itu
tersenyum. “Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
Sebenarnya, aku tahu,
selama ini Ruffan selalu menjagaku dari kejauhan. Sebab dia selalu paham, aku
tidak pernah suka berada di dekatnya. Dia telah berusaha banyak untukku. Tapi
aku belum siap memberikan hatiku. Terlalu jahat jika aku harus menyerahkan
hatiku yang masih berbentuk retakan karena ulah masa laluku.
Aku
memang pernah salah. Menyerahkan hatiku seluruhnya untuk orang yang teramat
kucintai. Seharusnya, aku menyisakan sedikit ruang di hatiku untuk merelakannya
pergi. Dengan begitu, aku tidak akan kehilangan semuanya dan masih memiliki
secuil dari hatiku yang tersisa. Aku masih bisa bangkit berdiri, mencari tempat
berteduh yang baru. Mencari ‘rumah’ yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar