Translate

Jumat, 27 Maret 2015

Harusnya Kucintai Dia Secukupnya


Bola api raksasa menghangatkan jalan yang kulewati. Biru langit yang membuatku iri. Kualihkan pandanganku kesebelah kanan. Lagi-lagi semesta mengejekku. Kuputuskan untuk berhenti sejenak, menikmati hamparan lautan dan langit yang melakukan konspirasi semesta untuk mengejekku. Membuatku iri. Sial!
Kulangkahkan kaki menyusuri pasir pantai yang memantulkan bayangan hitam tubuhku. Andai saja bisa, ingin rasanya membiarkan ombak merenggut seluruh rasa sakit yang mengakar di seluruh penjuru hati. Membiarkan langit menghisap dan melumpuhkan ingatanku, membakarnya hingga lenyap dengan bola api raksasa yang begitu setianya pada langit.
Sudah lewat dua kali musim penghujan dan tiga kali musim kemarau, namun perasaan itu masih tertata rapi. Sulit melemparnya keluar dari ingatanku. Sungguh, melupakannya tak semudah menebar senyum palsu. Senyum yang cukup berhasil membuatku terlihat kuat dari luar. Selangkah demi selangkah kubawa tubuhku menjauh dari pantai. Ah, aku pernah merasa lengkap bersama dua kakinya, terasa langkahku begitu ringan. Hanya bersama dia, hidup terasa mudah untuk dijalani. Sayang, sesuatu yang indah itu hanya terdiam di masa lalu. Sesuatu yang indah itu tak bisa kudapatkan kembali. Mungkin belum.
***
“Yang, lihat kesebelah kiri.”
Aku menoleh, seperti permintaannya. "Wahh... Cantik. Kita mampir bentar yuk."
Dia menuruti permintaanku. Aku dan dia tengah berdiri di bibir pantai. Kutunjuk cakrawala yang tepat berada di atas kami. "Lihat di atas sana yang. Luas, tak terbatas kan?"
Dia hanya mengangguk. Membenarkan. “Iya. Kenapa?”
“Sama seperti rasa sayangku ke kamu. Tak berbatas.”
Dia tersenyum. Simpul. Manis. “Sayang mah suka gombal. Pasti sudah banyak korbannya.”
Entah mengapa, setiap kalimat yang benar-benar serius kuucapkan selalu terdengar seperti bualan di telinganya. Padahal sungguh, aku benar-benar mencintainya. Sangat cinta.
“Aku serius, Sayang.” Kupasang bibir manyun yang selalu bisa membuatnya menuruti inginku. Berharap dia akan yakin pada perkataanku.
“Iya, Sayang. Aku tahu. Aku pun bisa merasakannya. Thank you for loving me.”
“Kamu juga sayang aku, kan?” Kuamati wajahnya lekat-lekat. Dia masih memandang ke atas. Pelan-pelan, langit mulai menampakkan lukisan Tuhan.
“Seharusnya, hal itu tidak pernah kamu tanyakan, Sayang. Jangan ragukan rasa sayangku ke kamu.”
Kupandangi sorot matanya yang teduh. Iya. Aku hanya akan bertanya satu kali. Aku pun sudah merasa cukup untuk jawaban yang kudapat. Aku ingin mempercayainya. Dia menggenggam erat telapak tanganku. Kami berdua melangkah menjauhi pantai. Dua pasang kaki yang melangkah bersama. Senada. Seirama. Dua telapak tangan yang saling menggenggam. Erat. Hangat.
***
Deru ombak yang menerjang karang menarikku dari bayang-bayang masa lalu. Percuma. Sekuat apapun aku mencoba lupa, hanya membuatku menjadi semakin kacau. Segigih-gigihnya aku berusaha terlihat kuat, justru membuatku merasa semakin rapuh.
Kuhidupkan mesin motorku dan segera kutenggelamkan pikiranku dalam bisingnya jalan pantura. Tak sengaja mataku menatap bangunan di pinggir jalan yang sering aku lewati. Ah, dulu karena hujan aku dan dia, pernah menghabiskan waktu disana dalam balutan tawa. Damn! Apa ini? Aku bisa gila jika terus-terusan begini. Kuputuskan memasuki kedai kopi langganan ‘kami’.
“Americano satu, ya, Mbak.” Tanpa tedeng aling, kukageti mbak penjaga kasir dengan memesan secara tiba-tiba.
“Si... siap, Mbak. Silakan duduk, pesanan akan segera diantar.”
Aku tak menanggapi perkataannya. Gontai, kuseret kakiku menuju meja di sudut kafe yang minim pencahayaan. Aku sedang ingin menyepi. Tak dapat kudefinisikan lagi seberapa ingin aku menyendiri. Tak lama, Americano pesananku datang. Kusesap sedikit demi sedikit. Perlahan, kehangatan menjalar ke seluruh penjuru tubuhku. Kehangatan yang hanya menentramkanku dalam beberapa detik.
Dulu, yang kupikirkan hanyalah masa depan yang indah dengannya. Begitu sayangnya aku kepadanya, membuatku lupa menyisihkan separuh hatiku untuk siap merelakan saat dia ingin terlepas. Dan saat hal itu benar-benar terjadi, aku  tidak siap. Aku tidak ikhlas kebahagiaanku direbut secara paksa. Aku marah. Aku benci pernah memercayai kata-katanya. Aku benci kepada diriku sendiri. Dia bohong soal mencintaiku. Di saat aku benar-benar merasa dia adalah orang yang tepat, di saat aku mulai bergantung padanya, saat itulah kebenaran terungkap. Suatu hari, dia mengatakan bahwa hubungan ini perlu “dipertimbangkan” lagi. Jatuh. Sakit. Hancur. Remuk. Dan sampailah pada hari kemarin.
***
Kusesap lagi Americano-ku yang masih tersisa setengah cangkir. Saat kuletakkan lagi cangkir Americano-ku, aku menyadari kedatangan seseorang.
“Nadine, kamu juga kesini? Kebetulan sekali, ya?”
Menyebalkan. Aku sedang ingin sendiri. Dia menggangguku di saat yang tidak tepat.
“Boleh aku duduk?”
Tak kutanggapi pertanyaannya. Aku benar-benar sedang tidak dalam mood yang baik.
“Kamu terlihat kacau sekali. Ada apa?”
Aku tetap bergeming. Lalu, kudengar hembusan napasnya pelan.
“Nadine, aku tahu, kamu tidak pernah menyukai berada di dekatku. Tapi, percayalah, sendirian tidak akan pernah membuatmu lebih baik. Kamu butuh seseorang, kamu butuh pendengar.”
Pelan, kucoba menerawang jauh ke dalam manik matanya. Pria yang selama ini dengan sabarnya menunjukkan rasa kasihnya kepadaku. Rasa sayang yang tak pernah terlihat di mataku. Mata hatiku terlanjur terselimuti kebencian yang teramat dalam.
“Bicara memang mudah, Fan. Kamu hanya melihat. Kamu tak pernah merasakan rasanya menjadi aku!”
“Nadine, jangan angkuh begitu. Kamu butuh menangis. Jangan mengedepankan ego dengan menjunjung tinggi prinsip bahwa kamu terlalu kuat untuk menangis.”
Dia berhasil membungkam mulutku. Benar. Selama ini, aku hanya lalai untuk melunakkan sedikit hatiku. Kristal air menjemukan itu menyeruak keluar, lagi-lagi membentuk anak sungai yang mengalir di pipiku.
“Percayalah, Nadine, kamu hanya perlu menangis satu kali, dan berbahagia selamanya. Wanita sepertimu tak seharusnya bergumul dengan kesedihan. Bertahan dengan hati yang retak. Pikirkan, sudah berapa kebahagiaan yang kamu sia- siakan dengan menghabiskan waktu di hidupmu dalam kepiluan?”
Terus. Kata-kata Ruffan bagai suntikan semangat untukku. Perlahan, aku mulai dapat berpikir rasional.
“Aku tahu, aku paham benar bagaimana perasaanmu. Tadi pagi, aku juga sudah menerima undangan pernikahan itu. Nadine, setiap orang pasti akan menemukan ‘rumah’-nya masing-masing. Jika memang ‘rumah’ bagi Ares adalah Maya, kamu harus dapat mengikhlaskannya. Temukan ‘rumah’-mu sendiri, Nad!”
Linangan air mataku berebutan turun dari ujung daguku menuju meja. Beberapa pengunjung tampak sedang memerhatikan aku dan Ruffan. Beberapa diantaranya menghunuskan pandangannya kepada Ruffan. Mungkin, mereka pikir, Ruffan yang membuatku larut dalam sedu sedan ini.
“Jadi, kamu akan menghadiri pernikahan mantan kekasihmu itu, kan, Nad?”
Ruffan memberikan sapu tangannya padaku. “Untuk menghapus air matamu yang menjemukan itu.”
Aku menerima sapu tangan pemberiannya. Perlahan, kuusapkan ke wajahku. Kuhapuskan jejak anak sungai yang menciptakan arus deras.
“Iya. Aku akan menghadirinya, Fan.”
“Kamu bisa hadir bersamaku, kalau kamu mau, Nad.” Pelan, disentuhnya ujung jemariku.
“Tentu saja. Maaf untuk setiap pengabaianku selama ini.”
Pria berkacamata itu tersenyum. “Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
Sebenarnya, aku tahu, selama ini Ruffan selalu menjagaku dari kejauhan. Sebab dia selalu paham, aku tidak pernah suka berada di dekatnya. Dia telah berusaha banyak untukku. Tapi aku belum siap memberikan hatiku. Terlalu jahat jika aku harus menyerahkan hatiku yang masih berbentuk retakan karena ulah masa laluku.
Aku memang pernah salah. Menyerahkan hatiku seluruhnya untuk orang yang teramat kucintai. Seharusnya, aku menyisakan sedikit ruang di hatiku untuk merelakannya pergi. Dengan begitu, aku tidak akan kehilangan semuanya dan masih memiliki secuil dari hatiku yang tersisa. Aku masih bisa bangkit berdiri, mencari tempat berteduh yang baru. Mencari ‘rumah’ yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar