Rasanya baru kemarin kita bicara. Saat kita merasa tak pernah kehabisan
hal-hal menarik untuk dibahas. Rasanya baru kemarin saat kamu
menggenggam tanganku dan berkata kalau hidup ini akan baik-baik saja.
Dan rasanya pun aku tak pernah membayangkan sesuatu yang buruk akan
menimpaku. Tak pernah sedetik pun. Karena kamu terasa begitu dekat.
Sampai aku harus mengikhlaskan kamu
untuk pergi, membawa semua semangat dan pengharapanku tentang masa depan
kita. Begitu cepat dan aku hilang arah. Aku tak lagi ingat dimana dan
membedakan antara utara dan selatan, antara siang dan malam, antara
nyata dan semu. Aku tak pernah berharap memikirkanmu dalam wujud semu
yang tak pernah bisa aku gapai. Karena aku tak pernah tau bagaimana
rasanya semu. Ya, aku tak tau lagi bedanya.
Merelakan kamu pergi adalah hal sulit yang harus aku lalui dengan
susah payah. Dan perlahan-lahan mengharuskanku menghapus bayanganmu
dan semua kenangan kita. Kamu tau? Itu mustahil bagiku. Aku tak peduli
berapa banyak waktu dan air mata ku yang terbuang untuk meratapi
kepergianmu. Aku tak peduli berapa orang yang akan menyebutku gila dengan mematri bayanganmu. Ya, hanya bayangan. Tapi akan selalu
tersimpan rapi di kotak kenanganku dan kubuang kuncinya hingga ke dasar
laut. Karena aku tak ingin kamu lenyap begitu saja, setelah
semua yang terjadi, setelah semua yang kamu ambil, setelah semua impian
kita yang mungkin hanya akan jadi arang. Hangus terbakar bersama
semangatku yang telah kamu bawa pergi.
Lalu bagaimana dengan hidupku? Aku tak sempat memikirkannya. Karena
hati dan otakku hanya mengijinkanku untuk memikirkanmu. Kamu tau rasanya
terpuruk begitu dalam? Mungkin seperti ini. Kehilangan orang yang
paling ku sayangi, kegagalan berkali-kali, atau mendapat ketidak adilan
dan perlakuan yang tidak semestinya? Yang mana? Tak ada yang lebih buruk
selain kehilangan kamu. Kamu, tempatku menitipkan sebagian harapanku
dan berharap kalau kamu bisa menemaniku meraihnya. Ya, hanya bersama
kamu. Jika kesedihan adalah samudera tak bertepi, maka ke tepi terjauh
mana tangis ini harus kubawa?
Ah, aku melupakan satu hal. Takdir. Takdir yang sudah digariskan
oleh-Nya. Dan aku akan mencoba bahagia dengan mengikuti takdir Tuhan dan
tak mempertanyakannya, seperti saat kamu pergi meninggalkanku. Miris.
Afriyani, 10/03-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar